Team Performance Development

Tulisan kali ini akan lebih banyak membahas mengenai Agile Delivery Teams. Seorang Project Manager perlu memahami bagaimana cara membangun sebuah Agile Team dan membantu team tersebut agar menjadi tim yang benar-benar High Performing. Sebagai Leader, kita perlu memfokuskan upaya kita pada faktor People untuk mendapatkan hasil kinerja yang maksimal. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memahami bagaimana cara membangun dan mendukung tim yang baik.

Di dalam buku “The Wisdom of Teams”, Jon Katzenbach dan Douglas Smith mendefinisikan tim sebagai “sejumlah kecil orang dengan keterampilan yang saling melengkapi yang berkomitmen untuk mencapai tujuan bersama, tujuan kinerja, dan pendekatan yang membuat mereka saling bertanggung jawab.”. Ada yang menarik disini, yang pertama yaitu “sejumlah kecil orang”. Agile merekomendasikan agar tim tetap kecil (biasanya 12 orang atau lebih sedikit) karena hal ini memungkinkan anggota tim untuk berkomunikasi dengan baik dan secara langsung. Jika suatu project membutuhkan tim yang lebih besar, biasanya perlu dipecah menjadi sub-tim yang lebih kecil untuk mengoordinasikan pekerjaan mereka. Hal menarik yang kedua adalah “dengan keterampilan yang saling melengkapi”. Meskipun anggota tim secara individu mungkin tidak memiliki semua keterampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan project yang sedang dikerjakan, tim secara kolektif akan memiliki semua keterampilan yang diperlukan. Hal menarik terakhir adalah “saling bertanggung jawab”. Dengan kata lain, tim memiliki ownership bersama atas hasil project.

 

Specialis vs. Generalist Specialist

Dalam konteks pengetahuan suatu tim di dalam aktivitas project, “Spesialis” mengacu pada individu yang memiliki pengetahuan mendalam dan keahlian khusus dalam bidang tertentu. Mereka memiliki fokus yang terbatas pada bidang tersebut dan biasanya memiliki tingkat keahlian yang tinggi dalam aspek-aspek tertentu dari project.

Di sisi lain, “Generalis Spesialis” adalah individu yang memiliki pengetahuan yang lebih luas dan pemahaman yang mendalam tentang berbagai bidang yang terkait dengan project. Mereka memiliki keahlian khusus dalam satu atau beberapa bidang, tetapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang bidang-bidang lain yang terkait. Dengan kata lain, mereka memiliki kombinasi keahlian spesialis dan pengetahuan umum yang luas.

Beberapa keuntungan “Generalis Spesialis” antara lain:

  1. Fleksibilitas: Dalam pendekatan Agile, project sering mengalami perubahan kebutuhan dan prioritas yang cepat. Seorang “Generalis Spesialis” mampu beradaptasi dengan baik karena mereka memiliki pemahaman yang luas tentang berbagai aspek project dan dapat berkontribusi secara efektif di berbagai bidang.
  2. Kolaborasi Tim: Dalam tim Agile, kolaborasi antar anggota tim sangat penting. Seorang “Generalis Spesialis” dapat berinteraksi dengan anggota tim yang memiliki keahlian spesifik dalam bidang tertentu, sehingga memudahkan koordinasi dan pertukaran pengetahuan. Mereka dapat bertindak sebagai penghubung antara spesialis dan memfasilitasi aliran informasi yang efektif.
  3. Solusi Holistik: Dalam Agile project, penting untuk memiliki pemahaman menyeluruh tentang project secara keseluruhan. Seorang “Generalis Spesialis” dapat memberikan perspektif yang holistik dan melihat bagaimana berbagai bagian saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Hal ini membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik dan mengurangi risiko konflik antara aspek-aspek project.
  4. Pengurangan Ketergantungan: Dengan adanya “Generalis Spesialis”, tim dapat mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada satu individu atau spesialis tertentu. Jika ada anggota tim yang absen atau menghadapi kesulitan, “Generalis Spesialis” dapat mengisi kekosongan tersebut dengan pengetahuan dan keahlian mereka.
  5. Peningkatan Efisiensi: Dalam lingkungan Agile, tugas dan tanggung jawab sering kali tidak terbatas pada satu peran tertentu. Seorang “Generalis Spesialis” dapat berkontribusi dalam berbagai area project, mengurangi kebutuhan akan banyak spesialis yang berbeda. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi tim secara keseluruhan.

 

High Performing Team

Lyssa Adkins, seorang Agile Coach, mengidentifikasi delapan karakteristik tim berkinerja tinggi dalam bukunya yang berjudul “Coaching Agile Teams”. Berikut adalah delapan karakteristik tersebut:

  1. Keterbukaan (Openness): Tim berkinerja tinggi memiliki keterbukaan yang tinggi dalam berbagi informasi, pengetahuan, dan ide-ide. Mereka menciptakan lingkungan yang aman untuk berbagi dan menerima umpan balik (feedback). Keterbukaan ini memungkinkan kolaborasi yang kuat, inovasi, dan pemecahan masalah yang efektif.
  2. Kepercayaan (Trust): Kepercayaan adalah pondasi penting dalam tim berkinerja tinggi. Anggota tim memiliki keyakinan bahwa rekan mereka akan melakukan apa yang mereka katakan, memenuhi komitmen, dan mendukung satu sama lain. Kepercayaan memungkinkan tim untuk bergerak maju dengan keberanian, mengatasi konflik dengan konstruktif, dan bekerja secara efektif sebagai satu kesatuan.
  3. Kolaborasi yang Meningkat (Increased Collaboration): Tim berkinerja tinggi mendorong kolaborasi yang kuat di antara anggota tim. Mereka mengakui kekuatan dan keahlian masing-masing individu dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi yang meningkat memungkinkan tim untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya, berbagi pengetahuan, dan memecahkan masalah secara bersama-sama.
  4. Fokus pada Hasil (Focus on Results): Tim berkinerja tinggi memiliki fokus yang jelas pada mencapai hasil yang diinginkan. Mereka memahami tujuan tim dan berkomitmen untuk mencapainya. Setiap anggota tim memahami perannya dalam mencapai hasil tersebut dan bekerja secara kolektif untuk mencapai tujuan tim.
  5. Kemampuan Menghadapi Konflik (Conflict Handling Ability): Tim berkinerja tinggi memiliki kemampuan untuk menghadapi konflik dengan cara yang konstruktif. Mereka mendorong adanya diskusi terbuka, penghargaan terhadap perbedaan pendapat, dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Kemampuan menghadapi konflik ini memungkinkan tim untuk belajar dari perspektif yang berbeda dan tumbuh lebih kuat sebagai hasilnya.
  6. Fokus pada Pembelajaran (Learning Focus): Tim berkinerja tinggi memiliki orientasi pada pembelajaran yang terus menerus. Mereka melihat kesalahan sebagai peluang untuk tumbuh, mencari umpan balik dari pengalaman, dan menerapkan pengetahuan baru untuk meningkatkan kinerja mereka. Fokus pada pembelajaran memungkinkan tim untuk terus beradaptasi dan meningkatkan praktik mereka.
  7. Keahlian Tim yang Diversifikasi (Diversified Team Skills): Tim berkinerja tinggi memiliki anggota dengan keahlian yang beragam. Kekuatan dan kelemahan individu digabungkan untuk menciptakan kombinasi keahlian yang kuat. Keahlian yang diversifikasi memungkinkan tim untuk mengatasi tantangan yang berbeda dengan cara yang efektif dan inovatif.
  8. Keterlibatan Aktif (Active Engagement): Anggota tim berkinerja tinggi terlibat secara aktif dalam proses dan keputusan tim. Mereka merasa memiliki tanggung jawab terhadap kesuksesan tim dan berkontribusi secara proaktif dalam mencapai tujuan bersama. Keterlibatan aktif menciptakan semangat tim yang tinggi dan energi kolaboratif yang mendorong hasil yang lebih baik.

 

Empowered Teams (Self-directing & Self-organizing)

Tim yang self-directing adalah tim yang memiliki kemampuan untuk mengambil inisiatif dan mengelola diri mereka sendiri dalam mencapai tujuan tim. Mereka memiliki kebebasan dan otonomi untuk mengambil keputusan terkait dengan tugas-tugas mereka dan mengatur pekerjaan mereka sendiri. Tim self-directing memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dan mampu mengatur waktu, sumber daya, dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Sedangkan tim self-organizing adalah tim yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengelola diri mereka sendiri dalam hal tugas, tanggung jawab, dan struktur kerja. Mereka memiliki fleksibilitas untuk menentukan bagaimana pekerjaan dilakukan dan bagaimana anggota tim berkolaborasi. Tim self-organizing tidak memerlukan pengawasan atau kontrol yang ketat dari luar, karena mereka mampu menyusun sendiri cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka.

Dalam tim self-directing dan self-organizing, anggota tim berbagi tanggung jawab dalam membuat keputusan, merencanakan pekerjaan, dan memonitor kemajuan. Mereka berkolaborasi secara aktif, saling mendukung, dan memanfaatkan keahlian individu mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tim semacam ini memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan perubahan kebutuhan dan kondisi proyek.

 

Team Development

Terdapat 3 model pengembangan tim yang umumnya digunakan di lingkungan Agile, yaitu Shu-Ha-Ri, Dreyfus, dan Tuckman.

Model Shu-Ha-Ri adalah sebuah konsep dalam seni bela diri Jepang yang kemudian diterapkan dalam konteks pembelajaran dan pengembangan keterampilan, termasuk dalam praktik Agile dan pengembangan perangkat lunak. Model ini menggambarkan tiga tahap evolusi dalam perolehan keterampilan dan pemahaman seseorang:

  1. Shu (to keep, protect, or maintain): Tahap pertama, Shu, mengacu pada periode pembelajaran awal di mana seorang individu secara ketat mengikuti dan mempelajari aturan, teknik, dan konsep yang telah ditetapkan. Pada tahap ini, individu fokus pada menghafal dan mengulangi langkah-langkah dasar, mengikuti instruksi dengan seksama, dan tidak terlalu banyak mempertanyakan atau mencoba variasi. Tujuan utama pada tahap ini adalah membangun dasar yang kokoh dan memahami prinsip-prinsip dasar.
  2. Ha (to detach or break free): Tahap kedua, Ha, melibatkan proses memisahkan diri dari ketergantungan pada instruksi dan mulai mengembangkan pemahaman yang lebih dalam serta kreativitas dalam penerapan keterampilan tersebut. Setelah memahami dan menguasai teknik dasar, individu dapat mulai bereksperimen dengan variasi dan improvisasi. Mereka mulai mengembangkan kepercayaan diri dan pengambilan keputusan sendiri dalam situasi yang lebih kompleks. Pada tahap ini, individu mempertanyakan dan menganalisis lebih banyak hal, menggali lebih dalam untuk menemukan prinsip-prinsip yang mendasari teknik, dan mempelajari berbagai pendekatan alternatif.
  3. Ri (to go beyond or transcend): Tahap ketiga, Ri, mencerminkan tingkat keahlian yang tinggi dan puncak perkembangan seorang praktisi. Pada tahap ini, individu telah mencapai tingkat pemahaman yang sangat mendalam sehingga mereka dapat mengembangkan gaya dan pendekatan yang unik. Mereka mampu melampaui batasan-batasan tradisional dan menciptakan sesuatu yang baru. Tahap ini menggabungkan kebebasan kreatif dengan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip yang mendasari keterampilan tersebut. Meskipun individu mungkin memiliki keahlian yang tinggi, mereka juga menyadari bahwa pembelajaran dan perkembangan tidak pernah berakhir dan tetap terbuka untuk pembelajaran lebih lanjut.

 

Model Dreyfus dikembangkan oleh psikolog bersaudara Stuart dan Hubert Dreyfus, adalah sebuah model yang menggambarkan perkembangan individu dalam menguasai suatu keterampilan dari tingkat pemula hingga tingkat ahli. Berikut adalah karakteristik-karakteristik dalam Dreyfus Model of Adult Skill Acquisition:

  1. Tahap Pemula (Novice): Pada tahap ini, individu memiliki sedikit atau tidak ada pengalaman dalam domain keterampilan yang spesifik. Mereka mengikuti aturan dan prosedur yang ditentukan secara ketat, karena mereka masih membutuhkan panduan yang jelas. Pemula cenderung menghadapi masalah dalam situasi yang tidak terduga dan kesulitan mengambil keputusan mandiri.
  2. Tahap Mahir (Advanced Beginner): Pada tahap ini, individu mulai mengembangkan pengalaman dan memahami prinsip-prinsip dasar di dalam domain keterampilan. Mereka masih membutuhkan instruksi yang jelas, tetapi mereka mulai mengenalinya dengan lebih baik. Mereka juga mulai mengembangkan intuisi dan dapat mengenali pola-pola yang muncul dalam situasi yang serupa. Meskipun demikian, mereka masih memerlukan bimbingan untuk mengatasi situasi yang kompleks.
  3. Tahap Kompeten (Competent): Pada tahap ini, individu memiliki pemahaman yang lebih luas tentang domain keterampilan dan dapat mengambil keputusan yang lebih mandiri. Mereka memiliki pengalaman praktis yang substansial dan dapat mengatasi berbagai situasi dengan percaya diri. Mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam dan mampu mengevaluasi solusi yang mungkin dalam konteks yang lebih luas.
  4. Tahap Terampil (Proficient): Pada tahap ini, individu telah menginternalisasi keterampilan dan pengetahuan di dalam domain tertentu. Mereka dapat beroperasi dengan lancar tanpa banyak pemikiran sadar. Mereka memiliki intuisi yang kuat dan dapat merespons secara fleksibel terhadap situasi yang kompleks. Mereka juga mampu melihat gambaran besar dan memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks.
  5. Tahap Ahli (Expert): Pada tahap ini, individu memiliki keterampilan yang sangat berkembang dan menguasai domain keterampilan sepenuhnya. Mereka memiliki kepekaan yang tinggi terhadap situasi dan dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat tanpa berpikir terlalu lama. Mereka juga mampu beradaptasi dengan baik dalam situasi yang sulit dan dapat melihat implikasi jangka panjang dari tindakan mereka.

Penting untuk dicatat bahwa perpindahan antara tingkat keahlian dalam Model Dreyfus bukanlah proses yang terstruktur atau linear. Individu dapat melompat dari satu tingkat ke tingkat lainnya tergantung pada pengalaman, latihan, dan pengetahuan yang diperoleh.

 

Model Tuckman, yang dikembangkan oleh psikolog Bruce Tuckman pada tahun 1965, menjelaskan empat tahap perkembangan yang umum terjadi dalam kelompok kerja atau tim yang sedang menghadapi tantangan dan mencapai tujuan bersama. Model ini membantu memahami dinamika kelompok dan memungkinkan pemimpin tim untuk mengenali dan mengatasi masalah yang mungkin muncul selama perkembangan kelompok.

Berikut adalah empat tahap dalam model Tuckman:

  1. Forming (Pembentukan): Pada tahap ini, anggota tim baru bergabung dan memulai interaksi awal. Mereka saling mengenal, mengeksplorasi tujuan kelompok, dan mencoba memahami peran dan tanggung jawab masing-masing anggota. Biasanya, terdapat rasa antusiasme dan kecemasan di antara anggota tim. Pemimpin tim pada tahap ini berperan penting dalam memberikan arahan dan membantu membentuk struktur kelompok.
  2. Storming (Konflik): Tahap storming adalah ketika anggota tim mulai mengalami konflik, perbedaan pendapat, dan tantangan dalam kerjasama. Munculnya ketegangan, perbedaan pendapat, dan persaingan alami dalam mencapai kesepakatan dan pembagian tugas. Pada tahap ini, pemimpin tim harus mendukung dialog terbuka, memfasilitasi penyelesaian konflik, dan membantu anggota tim untuk saling memahami dan menghormati perbedaan mereka.
  3. Norming (Pembentukan Norma): Pada tahap norming, anggota tim mulai mencapai konsensus, mengembangkan aturan dan norma kelompok, serta membangun hubungan yang lebih harmonis. Mereka belajar bekerja sama, membagi tugas, dan menghargai kontribusi masing-masing anggota. Pada tahap ini, pemimpin tim dapat memfasilitasi diskusi yang konstruktif dan memberikan pengakuan terhadap prestasi individu dan kelompok.
  4. Performing (Kinerja): Tahap performing adalah saat di mana kelompok mencapai kinerja yang optimal. Anggota tim bekerja secara efektif bersama, saling memahami, dan memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan bersama. Pada tahap ini, pemimpin tim bisa memainkan peran sebagai fasilitator dan pemantau kemajuan, serta memberikan umpan balik yang konstruktif untuk meningkatkan kinerja kelompok.

 

Adaptive Leadership

Kepemimpinan Situasional, yang dikembangkan oleh Ken Blanchard dan Paul Hersey pada tahun 1969, adalah pendekatan kepemimpinan yang menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik individu yang dipimpin serta situasi yang dihadapi.

  1. Directing (Mengarahkan): Pemimpin mengambil peran yang dominan dalam memberikan arahan dan pengawasan yang jelas terhadap tugas yang harus dilakukan oleh individu yang dipimpin. Gaya ini cocok untuk situasi di mana individu memiliki tingkat keterampilan yang rendah tetapi motivasi yang tinggi.
  2. Coaching (Membimbing): Pemimpin masih memberikan arahan yang jelas, tetapi juga memberikan dukungan dan dorongan yang lebih besar kepada individu yang dipimpin. Gaya ini cocok untuk situasi di mana individu memiliki tingkat keterampilan yang rendah namun memiliki motivasi yang rendah pula.
  3. Supporting (Mendukung): Pemimpin memberikan lebih banyak dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan sosial dan emosional individu yang dipimpin, sambil tetap memberikan bimbingan jika diperlukan. Gaya ini cocok untuk situasi di mana individu memiliki tingkat keterampilan yang tinggi namun mungkin membutuhkan dorongan tambahan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi.
  4. Delegating (Mendelegasikan): Pemimpin memberikan tingkat otonomi yang tinggi kepada individu yang dipimpin, memberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas. Gaya ini cocok untuk situasi di mana individu memiliki tingkat keterampilan yang tinggi dan motivasi yang tinggi pula.

Pemimpin yang efektif harus mampu mengevaluasi situasi dan karakteristik individu yang dipimpin untuk memilih gaya kepemimpinan yang paling sesuai. Pemimpin juga dapat beradaptasi dan mengubah gaya kepemimpinannya seiring perubahan situasi dan perkembangan individu yang dipimpin.

 

Team Motivation

Salah satu konsep yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kontribusi individu terhadap kelompok atau organisasi yaitu Continuum of Net Contribution (CNC). Konsep ini memperlihatkan tingkatan partisipasi dan kontribusi yang berbeda dari individu dalam suatu tim atau lingkungan kerja.

Dalam kontinum ini, terdapat empat tingkatan kontribusi yang dapat diidentifikasi:

  1. Undermining: Pada tingkat ini, individu cenderung memiliki dampak negatif terhadap tim atau organisasi. Mereka mungkin mengacaukan upaya kelompok, mempertentangkan ide-ide orang lain, atau bahkan menghancurkan semangat tim. Kontribusi mereka tidak menguntungkan dan bisa merugikan produktivitas dan dinamika kelompok.
  2. Passive Compliance: Pada tingkat ini, individu mematuhi aturan dan tugas yang diberikan, tetapi tidak memberikan kontribusi yang lebih dari itu. Mereka hanya melakukan yang diminta dan tidak berusaha untuk berpartisipasi secara aktif atau memberikan ide-ide baru. Kontribusi mereka cenderung minimal dan tidak melebihi harapan dasar.
  3. Active Participation: Pada tingkat ini, individu terlibat secara aktif dalam tim atau organisasi. Mereka memberikan kontribusi yang lebih besar daripada yang diharapkan dan berusaha untuk membantu mencapai tujuan kelompok. Mereka memiliki semangat kerja yang tinggi, memberikan ide-ide baru, dan terlibat dalam kolaborasi dengan rekan-rekan mereka.
  4. Committed Dedication: Pada tingkat ini, individu menunjukkan komitmen yang kuat terhadap tim atau organisasi. Mereka merasa terikat dengan tujuan dan nilai-nilai kelompok, dan berusaha untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam mencapai tujuan tersebut. Mereka mungkin memimpin dan menginspirasi rekan-rekan mereka, mengambil inisiatif, dan berupaya untuk membuat perbedaan yang nyata.

Dalam beberapa konsep, terdapat tingkatan kelima yang disebut Passionate Innovation. Pada tingkat ini, individu tidak hanya memberikan kontribusi yang tinggi, tetapi juga menciptakan inovasi dan solusi kreatif yang dapat meningkatkan kinerja dan menciptakan perubahan positif.

 

Co-located Teams & Virtual Teams

Co-located teams adalah tim atau kelompok kerja yang bekerja secara fisik bersama dalam lokasi yang sama atau secara geografis berdekatan. Anggota tim co-located biasanya berbagi ruang kerja yang sama atau berada di kantor yang terletak dalam jarak yang relatif dekat satu sama lain.

Keuntungan dari co-located teams meliputi:

  1. Komunikasi yang lebih mudah: Dalam tim yang berlokasi dekat, anggota dapat berinteraksi secara langsung, berbicara tatap muka, dan melakukan diskusi spontan dengan lebih mudah. Hal ini memfasilitasi kolaborasi yang lebih efektif, pemecahan masalah yang cepat, dan berbagi informasi secara instan.
  2. Keakraban dan kebersamaan yang lebih tinggi: Dalam tim yang berada dalam satu lokasi, anggota dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan rasa kebersamaan yang lebih tinggi. Mereka memiliki kesempatan untuk berinteraksi secara informal di luar kegiatan kerja formal, seperti makan siang bersama atau kegiatan sosial.
  3. Persepsi tim yang kuat: Dengan berada dalam satu tempat, anggota tim cenderung memiliki persepsi yang lebih kuat tentang identitas dan keberadaan tim. Mereka merasa lebih terikat dengan tujuan bersama dan dapat mengembangkan budaya tim yang unik.
  4. Koordinasi yang lebih efisien: Dalam tim co-located, koordinasi tugas dan jadwal dapat dilakukan secara lebih efisien. Pertemuan dapat diatur dengan mudah, dan anggota tim dapat merespons permintaan atau perubahan dengan cepat karena keterdekatannya.

Namun, perlu dicatat bahwa dengan perkembangan teknologi dan pergeseran paradigma kerja, tim virtual yang terdiri dari anggota yang terletak di berbagai lokasi geografis juga menjadi semakin umum. Tim virtual memungkinkan kolaborasi lintas batas dan fleksibilitas yang lebih besar dalam hal lokasi kerja. Baik co-located teams maupun virtual teams memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing, dan pilihan yang tepat tergantung pada konteks dan kebutuhan spesifik dari proyek atau organisasi.

 

Osmotic Communication

Osomotic communication adalah konsep yang diperkenalkan oleh Alistair Cockburn, seorang ahli dalam pengembangan perangkat lunak dan metode kerja tim. Konsep ini mengacu pada jenis komunikasi yang terjadi secara tidak langsung dan tanpa disengaja di antara anggota tim yang berada dalam lingkungan kerja yang terbuka atau berdekatan.

Istilah “osmotic” dalam konteks ini mengacu pada proses difusi atau penyebaran informasi yang terjadi secara alami di sekitar anggota tim. Dalam lingkungan kerja yang terbuka atau berdekatan, anggota tim cenderung terdengar atau mendapatkan informasi yang berasal dari percakapan, diskusi, atau pertemuan yang berlangsung di sekitarnya, meskipun mereka tidak secara langsung terlibat dalam interaksi tersebut.

Keuntungan dari osmotic communication adalah sebagai berikut:

  1. Informasi tidak terduga: Melalui osmotic communication, anggota tim dapat menangkap informasi atau wawasan yang mungkin tidak akan mereka dapatkan melalui komunikasi langsung atau formal. Informasi tersebut dapat melibatkan perkembangan terbaru, perubahan rencana, atau masalah yang sedang dihadapi oleh tim.
  2. Peningkatan pemahaman konteks: Dengan mendengar percakapan atau diskusi di sekitarnya, anggota tim dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang konteks atau tantangan yang dihadapi oleh rekan-rekan mereka. Hal ini dapat membantu mereka dalam memahami lingkungan kerja secara lebih luas dan merespons dengan tepat.
  3. Keterlibatan yang lebih luas: Osmotic communication dapat meningkatkan keterlibatan anggota tim secara keseluruhan karena mereka dapat tetap terhubung dengan informasi dan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Mereka dapat merasa lebih terhubung dengan tim dan mendapatkan keuntungan dari wawasan tambahan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa osmotic communication juga memiliki beberapa potensi kelemahan. Terlalu banyak gangguan atau kebisingan di lingkungan kerja yang terbuka dapat mengganggu konsentrasi dan fokus individu. Selain itu, informasi yang disampaikan melalui osmotic communication mungkin tidak selalu akurat atau lengkap, karena tidak melibatkan partisipasi langsung dari semua anggota tim.

Penerapan osmotic communication dalam praktik kerja tim dapat bervariasi tergantung pada konteks dan preferensi tim. Beberapa tim mungkin memanfaatkan keuntungan osmotic communication dengan sengaja menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan mempromosikan kolaborasi informal, sementara yang lain mungkin lebih memilih pendekatan yang lebih terstruktur dan langsung dalam komunikasi tim.

 

Tracking Team Performance

  1. Burn Down Chart: Burn down chart adalah grafik yang menggambarkan jumlah pekerjaan yang belum selesai (sumbu vertikal) dalam periode waktu tertentu (sumbu horizontal). Ini memberikan pemahaman visual tentang seberapa banyak pekerjaan yang telah diselesaikan dan berapa banyak yang masih harus dikerjakan dalam sprint. Pada awal sprint, garis pada grafik dimulai dari jumlah total pekerjaan yang belum selesai. Seiring waktu, garis akan menurun menuju sumbu horisontal, menunjukkan penyelesaian tugas-tugas tersebut. Tujuan utama burn down chart adalah untuk memastikan tim pengembang berada dalam jalur yang tepat untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang direncanakan dalam sprint.
  2. Burn Up Chart: Burn up chart juga merupakan grafik yang menunjukkan progres pengembangan dalam periode waktu tertentu. Namun, perbedaannya terletak pada sumbu vertikal yang mewakili jumlah pekerjaan yang telah diselesaikan, sedangkan sumbu horizontal mewakili waktu. Grafik ini memperlihatkan pertumbuhan kuantitas pekerjaan yang sudah selesai seiring berjalannya waktu. Dengan kata lain, garis pada grafik akan naik secara bertahap menuju jumlah total pekerjaan yang direncanakan. Burn up chart dapat memberikan informasi yang berguna tentang kemajuan project dan apakah pekerjaan sedang ditambahkan atau dihapus dari ruang lingkup project.
  3. Velocity: Velocity adalah metrik yang mengukur jumlah pekerjaan yang berhasil diselesaikan oleh tim pengembang dalam satu sprint. Ini biasanya dihitung dengan menjumlahkan estimasi pekerjaan yang selesai dalam satu sprint. Velocity dapat dinyatakan dalam berbagai satuan, seperti jumlah tugas yang selesai, story points, atau unit kerja lainnya yang relevan dengan tim pengembangan. Informasi ini dapat membantu tim dan pemangku kepentingan (Stakeholders) dalam merencanakan sprint berikutnya, mengestimasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan, dan mengidentifikasi perubahan dalam produktivitas tim dari waktu ke waktu.

Leave a Reply

Basic HTML is allowed. Your email address will not be published.

Subscribe to this comment feed via RSS

eight − three =

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.