Jelajah Kota Tua Semarang
Apa yang anda bisa lakukan selama akhir pekan di Semarang? Jawabannya pasti beragam. Tergantung apakah anda menyukai Kota Lama yang kental dengan peninggalan arsitektur jaman kolonial, wisata kuliner di kota yang dijuluki “Kota Lumpia” ini, atau anda bisa melipir sedikit ke daerah Bandungan dan Ambarawa, dimana pemandangan alam nan indah siap menyapa anda.
Kebetulan sekali momennya pas Imlek ketika saya mengunjungi Semarang, jadi saya bisa merasakan atmosfer yang berbeda jika dibandingkan dengan hari-hari biasa. Saya sudah mengantisipasi bahwa di momen ini tempat-tempat wisata pasti ramai pengunjung dan mendapatkan objek foto tanpa lalu lalang manusia sangatlah sulit. Jadi, dinikmati saja jalan-jalan kali ini.
Ketika saya tiba di Stasiun Semarang Tawang, saya sudah janjian dengan salah satu teman dari Backpacker Indonesia (BPI) Semarang, namanya Allet, yang dikenalkan oleh teman dari Backpacker Indonesia Yogyakarta. Ya, itulah enaknya punya komunitas, kalau jalan kemana aja pasti ada temennya.
Awalnya saya kira hanya Allet dan beberapa orang yang akan mengantarkan saya keliling Semarang, ternyata Allet menelepon teman-temannya. Tak sampai setengah jam, 10 motor datang dan kami sudah siap konvoi keliling Semarang.
Klenteng Besar Tay Kak Sie
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Klenteng Besar Tay Kak Sie. Klenteng yang terletak di kawasan Jalan Gang Lombok ini adalah salah satu klenteng tertua di Semarang. Didirikan pada tahun 1746. Karena lokasinya berada di Gang Lombok, tak ayal membuat klenteng tersebut juga dikenal sebagai Klenteng Gang Lombok.
Seperti klenteng pada umumnya, Tay Kak Sie kaya kaya akan ornamen dan simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan alirang Buddha, Tao, dan Konfusianisme. Yang menarik dari klenteng ini adalah atapnya yang berhiaskan sepasang naga.
Semarang sering disebut Kota Lumpia karena camilan yang bisa dengan mudah Anda temukan dimana saja, baik di restoran maupun pedagang kaki lima. Salah satu Lumpia yang terkenal adalah Lumpia Gang Lombok karena terletak di Gang Lombok No. 11
Kuil Sam Poo Kong
Perjalanan kami lanjutkan menuju Kuil Sam Poo Kong. Kuil Sam Poo Kong adalah tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He/ Cheng Ho.Suasana siang itu sangat ramai, karena sedang diadakan acara pentas seni yang rencananya akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Rencana saya untuk mengambil beberapa foto lanskap pupus sudah. Rame banget!
Masjid Agung Semarang
Dari Kuli Sam Po Kong, mereka menawarkan saya untuk masuk ke dalam menara pandang. Menara Asmaul Husna namanya. Dari menara setinggi 99 meter ini, saya bisa melihat hampir seluru Kota Semarang. Namun tiba-tiba, ada pemandangan yang lebih menarik dari atas sini, yaitu Masjid Agung Semarang dengan teras marmer yang luas dan menaranya yang mirip seperti roket.
Menurut Rivai, salah satu teman kami, keenam menara yang mirip roket itu adalah payung baja elektrik yang sangat besar yang dapat dibuka setiap hari Jumat untuk melindungi para jemaah di halaman dari sengatan matahari.
Gereja Blenduk
Gereja Blenduk dibangun pada tahun 1753 dengan bagian luar bangunan berwarna putih berkilau dan kubah dari tembaga. Gereja yang sesungguhnya bernama Gereja GPIB Immanuel ini merupakan salah satu landmark di Kota Lama Semarang. Yang menarik dari Gereja ini karena di atasnya terdapat kubah setengah lingkaran. Orang-orang jawa menamainya Blenduk karena bentuk kubahnya yang membulat.
Lawang Sewu
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Lawang Sewu dan semuanya saya kunjungi di waktu malam. Rintik hujan malam itu membawa saya menyusuri lorong-lorong dengan cerita sejarah masa lalu. Gedung yang paling menggugah di Semarang ini dulunya adalah kantor Kereta Api.
Lawang Sewu merupakan bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 27 Februari 1904. Terletak di bundaran Tugu Muda di Jalan Pemuda, Kota Semarang. Setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Nama resminya adalah “Administratigebouw Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij”.
Masyarakat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) karena bangunan ini memiliki pintu yang sangat banyak.
Lawang Sewu diduduki oleh pasukan Jepang selama perang dan kemudian oleh militer Indonesia setelah kemerdekaan sampai akhirnya ditinggalkan sama sekali. Tepat ketika mencapai usia seratus tahun, bangunan tersebut nyaris runtuh. Akhirnya, bangunan tersebut diremajakan dan dibuka sebagai tujuan wisata utama Semarang pada tahun 2011.
Bangunan yang menyimpan sejarah perkereta apian di Indonesia ini juga menyimpan cerita-cerita mistis. Konon katanya bahwa Lawang Sewu dihuni oleh sejumlah makhluk halus seperti kuntilanak, genderuwo dan hantu tanpa kepala.
Petualangan menjelajahi Lawang Sewu mengantarkan saya ke lorong bawah tanahnya. Dengan dibekali senter dan sepatu boot, sang Pemandu mengantarkan saya untuk berkeliling menyusuri lorong-lorong gelap. Menurut penuturan pemandu, selain sebagai pondasi bangunan, menurut sejarah tempat ini juga digunakan sebagai penjara dan tempat pembuangan mayat korban penyiksaan tentara kolonial.
Rawa Pening
Setelah seharian menyusuri kota Semarang, saya melanjutkan perjalanan ke arah Selatan dan menginap semalam di Bandungan. Pagi-pagi buta sekitar jam 4 saya sudah menggeber sepeda motor ke arah selatan menuju Rawa Pening. GPS mengarahkan saya ke salah satu desa di tepian danau. Awalnya saya agak khawatir karena arahnya semakin menjauh dari lokasi dan mulai hilang dari GPS. Matahari mulai muncul di ufuk timur, sedangkan saya masih mencoba mencari-cari jalan ke tepian danau. Beruntung saya bertemu dengan seseorang yang sepertinya sedang membawa peralatan memancing. “Pak, arah ke rawa pening mana ya?”. Bapak itu menjawab “Oh, ke arah situ mas, diparkir disini saja motornya, nanti mas jalan kaki nyusurin sungai sampai ketemu kapal-kapal kecil”. “Maturnuwun, pak”
Langkah kaki saya percepat karena langit sudah mulai terang, ditambah dengan perasaan kesal karena hunting sunrise kali ini benar-benar tanpa survei lokasi. Seandainya saja saya tidak bertemu bapak tadi, mungkin saya sudah memutar balik.
Rawa Pening merupakan danau vulkanik yang terletak di Ambarawa, Kabupaten Semarang. Selain sebagai sumber air dan irigasi masyarakat sekitar, juga sebagai kawasa wisata dengan pemandangan pegunungan mengelilingi danau.
Pagi hari banyak dijumpai masyarakat sekitar yang memancing ikan di tepian danau. Mereka bisa menyewa sampan untuk digunakan sampai siang hari.
Setelah menyusuri Rawa Pening, sepeda motor saya arahkan menuju Kampoeng Rawa yang lokasinya berada di tepi Jalan Lingkar Ambarawa. Panorama disini sangat indah dengan udara yang menyegarkan. Disini pengunjung bisa melihat hamparan sawah menghijau dengan pegunungan di sekelilingnya. Yang menarik dari Kampoeng Rawa adalah rumah makan apung/ resto apung. Rumah-rumah makan ini sengaja dibuat mengapung dengan menggunakan drum plastik. Untuk bisa menuju ke rumah makan ini, pengunjung harus menggunakan rakit yang ditarik dengan tali.
Candi Gedong Songo
Candi Gedong Songo adalah nama sebuah komplek bangunan candi peninggalan budaya Hindu yang terletak di desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Tepatnya di lereng Gunung Ungaran. Di area yang terletak 1200 meter di atas permukaan laut ini terdapat sembilan buah candi. Kata “gedong songo” berasal dari bahasa jawa, gedong berarti rumah atau bangunan, dan songo berarti sembilan. Jadi gedong songo berarti sembilan bangunan/ candi.
Leave a Reply