Di Ujung Indahnya Ujung Genteng
Entah sudah berapa banyak tawaran jalan-jalan ke Ujung Genteng saya tolak, baik ajakan pribadi maupun dari temen-temen yang bikin Open Trip. Suka ketuker gitu antara Ujung Genteng dan Ujung Kulon. Jadi butuh waktu beberapa saat untuk menyadari kalau keduanya itu beda banget. Yang satu wisata pantai dan yang satunya lagi Taman Nasional.
Ada 3 opsi untuk menuju ke Ujung Genteng, naik angkutan umum, ikut Group Tour atau bawa kendaraan sendiri. Setelah berdiskusi dengan Andi dan Titis, akhirnya kami memutuskan untuk membawa kendaraan sendiri. Awalnya agak khawatir karena mobil yang saya bawa adalah mobil sedan. Browsing di internet dan tanya-tanya teman mengenai kondisi jalan cukup menenangkan saya. Walaupun banyak jalan rusak, tapi masih bisa dilalui dengan nyaman.
Tepat jam 12 malam, perjalanan kami mulai dari Cijantung, tempat tinggal Andi. Harapan kami, perjalanan sepanjang jalan Sukabumi sudah lancar melewati tengah malam. Perjalanan kali ini benar-benar membutuhkan kondisi prima, karena cuma saya yang bisa nyetir! Umumnya kalau jalan bawa temen banyak, biar bisa gantian nyetir. Tapi yang ada mereka gantian tidur! Heh.. Kok Enak?! Jakarta-Cibadak, Andi duduk di depan menemani saya ngobrol sepanjang perjalanan. Percakapan lebih banyak didominasi oleh curhatan cintanya Andi. Sedangkan Titis di jok belakang, meringkuk manis tanpa suara. Cibadak-Ujung Genteng, giliran Titis yang menemani saya. Perjalanan 8 jam non stop dengan kondisi jalan keriting benar-benar melelahkan. Jalanan yang dulu mulus berubah menjadi hancur karena musim hujan.
Curug Cikaso dan Curug Cigangsa
Perjalanan 9 jam non stop membawa kami ke tempat pemberhentian pertama, Curug Cikaso. Tempat pertama yang saya cari adalah bale-bale di ujung warung menuju Curug Cikaso. Ahh.. nikmatnya merebahkan diri sejenak sambil menyeruput teh manis hangat.
Cikaso adalah nama sungai yang mengalir dari hulunya yang terletak di Sukabumi Utara hingga berakhir dengan muaranya di Pantai Selatan di daerah Kecamatan Surade, Sukabumi Selatan.
Akses
Air terjun ini berjarak tempuh sekitar 8 kilometer dari Surade, 15 kilometer dari Jampang Kulon, 32 kilometer dari Ujung Genteng, sekitar 110 kilometer dari Kota Sukabumi, dan sekitar 70 km dari Palabuhan Ratu.
Tiket masuknya sebesar 3000 rupiah. Terbilang cukup murah untuk wisata air terjun. Untuk sampai ke Curug, kami harus melewati pematang sawah. Cuaca sangat cerah pagi itu.
Curug yang memiliki ketinggian 80 meter ini berada di kawasan wisata Ujung Genteng, tepatnya terletak di antara Kecamatan Jampang Kulon dan Kecamatan Surade. Setelah mengambil beberapa foto, kami mulai berjalan masing-masing menikmati pemandangan curug. Lingkungan sekitar curug terawat dengan baik. Kami bahkan sempat berbincang-bincang dengan penjaga sekaligus penyapu di Curug Cikaso. Warung-warung makanan, penjaja minuman, penjual kaos dan souvenir berjejer rapih di sepanjang bibir sungai.
Ada satu curug lagi selain Cikaso, namanya Curug Cigangsa. Keberadaan curug ini saya ketahui dari Titis yang sebelumnya sudah pernah ke Ujung Genteng. Tempatnya yang jauh dan terpencil agak sulit untuk ditemukan. Karena Titis kebanyakan lupanya, terpaksa kami bertanya ke penduduk setempat sambil sesekali melihat papan penunjuk jalan yang bertuliskan Curug Cigangsa. Berbeda dengan Cikaso yang memiliki area parkir, untuk ke Curug Cigangsa kami hanya parkir di depan rumah penduduk yang sekaligus menjadi pintu masuk ke curug. Yeaah, lagi-lagi kami harus berjalan menyusuri jalan setapak dan pematang sawah.
Ujung Genteng dan Tukik
Waktu Terbaik
Daerah Pangumbahan beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 3.498 mm/tahun dan rata-rata bulan kering sekitar Juni-Juli dengan curah hujan 60 mm. Waktu terbaik sekitar bulan April sampai dengan Agustus dimana hujan sudah mulai berkurang.
Penginapan di Ujung Genteng sangat banyak sekali. Dari pintu masuk sampai Pantai Pangumbahan yang jaraknya cukup jauh berjejer penginapan mulai dari homestay, resort ataupun hotel. Untuk penginapan kami memilih Pondox Hexa. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pintu masuk, harganya terjangkau, area penginapan dan parkir yang luas. Pondok Hexa juga menyediakan fasilitas penyewaan sepeda motor dan pemandu untuk keliling Ujung Genteng. Beberapa lokasi wisata di Ujung Genteng cukup jauh dari penginapan. Karena kami tidak mau melewatkan momen sunset dan sunrise, sewa 2 motor untuk jalan-jalan selama 2 hari adalah pilihan terbaik.
Melihat pelepasan anak penyu atau biasa dikenal dengan sebutan Tukik adalah wajib hukumnya di Ujung Genteng. Daya tarik Ujung Genteng adalah pelestarian penyu di Pantai Pangumbahan. Pantai iniĀ berada di kawasan hutan lindung yang dijaga pihak TNI AU. Hal ini untuk menjaga kawasan hutan sekaligus konservasi penyu. Perjalanan ke Pantai Pangumbahan memang butuh perjuangan. Pasir pantai yang basah dan licin, genangan air lumpur dan rawa-rawa. Saya agak khawatir dengan kondisi motor yang kami tumpangi. Motor matic yang dipaksa melewati medan offroad. Seru!

Tarif masuk yang membuat kami berpikir dua kali untuk melihat penyu bertelur. Luar biasa mahalnya, 150 ribu per orang
Suasana pantai sore itu sangat ramai hingga akhirnya suara toa samar-samar terdengar dari kejauhan, memanggil semua pengunjung untuk berbaris rapih di pantai. Petugas menyiapkan lebih dari 10 ember besar yang sudah berisi tukik-tukik. Tukik kecil yang berwarna hitam itu seolah ingin berontak, lepas dan berlari menuju laut. Saya tidak melihat Andi dan Titis di dekat saya. Dari kejauhan, Titis memanggil saya “Dari sini aja potonya, biar kelihatan sunsetnya”.
Kerumunan manusia yang ingin berebut momen berharga ini memang membuat suasana menjadi sedikit kacau. Dan inilah saatnya.. tukik mulai dilepaskan. Tukik-tukik kecil mulai berlari menuju laut. Untuk beberapa saat, saya hanya terdiam menikmati tukik-tukik itu berlari sampai akhirnya menyadari saya tidak mengambil gambar apa-apa. Saya malah khawatir, kerumunan orang ini bisa menginjak tukik yang kembali lagi ke pantai karena tersapu ombak. Dan benar saja, “Awas keinjek!!”, suara jeritan Ibu-Ibu di tengah keriuhan. “Oh shit, this is bad!”
Penyu yang bertelur di pantai Pangumbahan sebagian besar adalah spesies Penyu Hijau (Chelonia mydas). Penyu ini adalah salah satu penyu yang dilindungi karena populasinya yang sudah menipis. Belum genap satu hari, bayi penyu harus berjuang menerjang gelombang. Dengan insting, mereka merekam jejak di Pantai Pangumbahan dan akan kembali 20 tahun kemudian untuk kembali bertelur.
Tempat Pelelangan Ikan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah tempat terbaik untuk melihat sunrise di Ujung Genteng. Disini juga terdapat dermaga tua bekas peninggalan kolonial Belanda. Geliat wisata di Ujung Genteng menyebabkan banyak penduduknya yang bekerja sebagai pemandu wisata dan tempat-tempat penginapan. Namun sebagian besar masih bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani lahan kering.
Pelabuhan yang diberi nama Pelabuhan Portugis oleh penduduk setempat ini selalu ramai setiap pagi. Kami bisa melihat perahu-perahu nelayan yang berlabuh dengan hasil tangkapan para nelayan. Bagi pecinta makanan laut, Ujung Genteng adalah surganya. Hasil tangkapan nelayan pada malam hari langsung dijual dalam keadaan fresh disini. Banyak ikan unik yang bisa dijumpai di pasar ini, seperti ikan layur, ikan hiu martil ataupun cumi sotong. Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan diri membeli Ikan Kakap dan Kepiting untuk dimasak di penginapan. Sebelum ke Ujung Genteng, jangan lupa untuk menyediakan uang banyak, karena disini tidak tersedia ATM.
Muara Cipanarikan
Sesuai namanya, Muara Cipanarikan adalah tempat bertemunya Samudra Hindia dan Sungai Cipanarikan. Lokasinya lebih jauh dari Pantai Pangumbahan. Kami harus melewati pagar pembatas Pantai Pangumbahan dengan medan yang lebih berat. Lagi-lagi motor kami harus berjibaku melewati hutan dan rawa dan beberapa kali menerjang genangan lumpur.
Saya agak kesal dengan begitu banyaknya pemotor yang mencoba merengsek masuk ke pantai. Kebanyakan dari mereka adalah klub motor. Mungkin sebuah kebanggan bagi mereka bisa mengambil gambar bersama di pinggir pantai Cipanarikan. Tapi dampaknya, jalan setapak menjadi melebar dan rusak, pepohonan kecil di kiri kanan tumbang terkena terjangan motor, dan yang pasti pemandangan indahnya pantai Cipanarikan terganggu dengan banyaknya motor yang parkir di tepi pantai.
Saya harus bersabar sampai matahari terbenam untuk bisa mengambil gambar dengan suasana pantai yang bersih. Garis pantainya yang panjang dan pasir putih nan halus seakan memanjakan kita untuk bermain pasir. Di pinggirnya terdapat tumbuhan yang didominasi oleh tanaman katang-katang, salah satu spesies tumbuhan menjalar. Sangat pas untuk jadi foreground foto di Cipanarikan.
Amanda Ratu
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Amanda Ratu Resort Ujung Genteng, perjalanan ini searah dengan perjalanan pulang karena letaknya di pinggir jalan raya menuju Ujung Genteng. Kebanyakan orang menyebutnya dengan Tanah Lot Amanda Ratu. Tidak mau kalah dengan Bali, Ujung Genteng juga punya Tanah Lot.
Di ujung muara Sungai Cikarang, terdapat bentuk pulau yang sebenarnya batu karang besar. Jika Anda pernah ke Tanah Lot Bali, kira-kira seperti itulah bentuk dan pemandangannya. Jadi untuk membedakan dengan yang di Bali, masyarakat setempat menamainya dengan Tanah Lot Amanda Ratu.
Kalau Anda mencari tempat wisata yang murah, indah, sunrise, sunset, seafood, dan penuh dengan petualangan, saya sangat merekomendasikan Ujung Genteng.
Leave a Reply