Telaga Dringo, Ranukumbolonya Dieng
Dieng memang sangat terkenal dengan banyaknya Telaga. Semua Telaga di Dieng kebanyakan terbentuk dari bekas aktivitas vulkanik, baik berupa letusan ataupun patahan. Berbeda dengan Telaga Warna yang terbentuk karena kawah vulkanik, Telaga Dringo terbentuk karena sebuah letusan kawah pada tahun 1786.
Bagi kebanyakan pengunjung yang baru pertama kali ke Dieng, mungkin agak terasa asing jika mendengar Telaga Dringo. Wajar saja, Telaga ini hampir tidak pernah ada dalam rencana perjalanan para traveler. Padahal, Telaga ini menyimpan keunikan, nuansa mistis dan keindahan yang begitu mempesona.
Telaga Dringo sendiri saya dengar langsung dari Mas Dwi, seorang travel guide dari penginapan Bu Djono. Di kesempatan ketiga menuju Dieng kali ini, Mas Dwi menawari saya untuk menuju ke tempat baru yang lebih sepi karena di Dieng sedang diadakan Dieng Culture Festival.
Dua sepeda motor siap membawa kami berempat menuju Telaga Dringo. Saya dan Mas Dwi, sedangkan Titis berboncengan dengan Andy. Menurut peta lokasi Dieng, Telaga ini masuk ke dalam peta wisata zona 2, bersamaan dengan Sumur Jalatunda yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Okaaaii.. ini jauh bangeeet!
Medan yang kami lewati benar-benar menantang dengan kontur menanjak dan penuh dengan batuan terjal. Pemandangan di kanan kiri kami adalah perbukitan dan lahan perkebunan kentang. Udaranya begitu sejuk. Beberapa kali kami berpapasan dan menyapa penduduk Dieng yang sedang memanen sayuran dan kentang. Sebelum masuk ke Telaga Dringo, kami terlebih dahulu melewati Kawah Candradimuka, salah satu kawah yang sangat terkenal di Dieng.
Telaga Dringo terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur. Berada diatas ketinggian 2.222 MDPL, menjadikan Telaga Dringo adalah Telaga tertinggi di Dieng. Nama Dringo sendiri di ambil dari nama tanaman dringo yang tumbuh secara alami di sekitar telaga.
Akses
Dari Candi Arjuna Dieng, jalan ke arah Batur, terus sampai melewati pipa gas. Setelah sampai di desa Kepakisan, ambil arah kanan dan ikuti jalan sampai melewati Kawah Candradimuka di desa Pekasiran. Gunakan pemandu wisata karena tempatnya yang tersembunyi dan medan yang cukup sulit ditempuh. Lama perjalanan sekitar 1 jam.
Telaga yang bentuknya seperti mangkok ini dikelilingi oleh pepohonan cemara yang rimbun. Desir angin yang sejuk menggoyang ilalang di tepi telaga. Sesekali kabut turun dari perbukitan dan menyelimuti telaga. Suasananya sangat tenang dan asri, membuat kami betah untuk berlama-lama. Saya dan Andy sibuk mengambil gambar, sedangkan Titis lebih senang duduk di rumput menikmati pemandangan telaga.
Keindahan telaga ini mengingatkan kita akan Ranukumbolo di Semeru. Banyak traveler yang menyebut Telaga Dringo sebagai Ranukumbolonya Dieng. Di tempat ini para pengunjung bisa melakukan aktivitas treking, memancing ataupun camping. Tempat paling pas untuk melihat keindahan Telaga Dringo adalah dari perbukitan yang letaknya di sebelah selatan telaga, namanya Bukit Cemeti. Di ujung bukit terdapat padang savanna yang dikelilingi oleh perbukitan, mengingatkan saya akan padang savanna di Bromo.
Gerimis mulai turun sore itu. Akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi perjalanan dan kembali ke penginapan. “Nanti malem harus minum purwaceng nih bro!”, ajakan Andy dari atas motornya yang mulai berjalan pelan-pelan menuruni medan berbatu.
Leave a Reply