Mengejar Sunrise ke Pananjakan Bromo
Bromo berasal dari kata Brahma, seorang Dewa dari agama Hindu. Legenda, berbagai kisah dan keindahan panoramanya membuat Bromo semakin dikenal. Bromo seolah tak pernah berhenti menyuguhkan pertunjukan alam di kala matahari mulai menyapa pagi di pananjakan. Lautan pasir seolah menjadi saksi bisu ribuan pengunjung yang menjejakan kaki di kaldera terbesar di Indonesia. Bertolak belakang dengan lautan pasir, Bromo menghadirkan padang savanna dengan hamparan rumput yang begitu luas. Dari kisah Rara Anteng dan Joko Seger, lahirlah anak-anak Tengger yang masih setia dengan upacara Yan Kesodo sebagai pengingat janji nenek moyang.
Senang bukan main, akhirnya pergi juga ke Bromo. Entah sudah berapa kali rencana dibuat sejak perjalanan saya ke Dieng, tapi hasilnya selalu gagal. Kalaupun ada beberapa kali ajakan menuju destinasi sejuta umat ini dari teman-teman Backpacker Indonesia, selalu saja tidak cocok di rencana perjalanan. Saya menginginkan lebih!
Acara ngopi-ngopi dengan temen-teman Backpacker di salah satu kedai kopi di Setiabudi membuahkan hasil. Salah satu teman mengiyakan ajakan saya, namanya Adri. Kebetulan saya dan Adri punya hobi yang sama, moto-moto pemandangan alam atau istilah kerennya Landscape Photographer. Beberapa kali kami juga sering melakukan perjalanan bareng, jadi terasa lebih santai kalau jalan bareng temen yang sudah kenal deket.
Stasiun Gambir
Kereta Argo Bromo Anggrek Malam datang tepat waktu. Pukul 21.25 kereta sudah berangkat menuju stasiun Surabaya Pasar Turi. Jujur saja, ini pengalaman pertama saya naik kereta eksekutif untuk perjalanan jauh. Hihihi… Sepanjang perjalanan saya masih sedikit ngedumel karena lampu kereta yang tidak pernah padam. Yaahh.. cukup menyulitkan untuk mencoba tidur, ditambah saya dan Adri masih asik ngobrol mengenai fotografi HDR (High Dynamic Range). Adri yang mempunyai nama beken Adrisigners ini memang masternya HDR, pengalamannya di dunia fotografi selama lebih dari 10 tahun membuat saya terkagum dengan hasil kerja kerasnya. Karya-karya Adri bisa dilihat di flickr dan facebooknya. Suatu kesempatan emas bagi saya, kapan lagi bisa belajar gratis bareng masternya. Hahaha…
Tepat jam 6 pagi, kereta tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Tak kuasa menahan lapar, kami bergegas keluar stasiun dan menuju warung makan yang lokasinya persis berada di samping stasiun. Nasi rames dan teh manis hangat menjadi menu sarapan pagi kami saat itu.
Kedatangan kami ternyata sudah ditunggu oleh para pengayuh becak. Kami pikir, jarak dari stasiun hingga ke tempat kami menunggu bis menuju terminal Bungur Asih cukup jauh, ternyata jaraknya cuma 100 meter. Heuheuheu. “Terus buat apa kita naik becak?!”
Perjalanan menuju Terminal Bungur Asih kami tempuh selama 1 jam menggunakan Bus Ekonomi, yang tentu saja melewati stasiun Pasar Turi (saya masih agak kecele gara-gara naik becak tadi.. hahaha). Terminal Bungur Asih merupakan stasiun Antar Kota Antar Propinsi di kota Surabaya. Terminalnya cukup bersih dan rapih. Yang membuat saya tercengang, kebanyakan awak bus di terminal ini mampu berbahasa inggris dengan cukup baik. Saya sempat memperhatikan kondektur bus yang saya tumpangi berkomunikasi dengan beberapa wisatawan asing yang ingin menuju ke Bromo. Beruntung, bus AC jurusan Bungur Asih – Probolinggo – Jember yang kami tumpangi tidak perlu menunggu lama untuk berangkat. Ongkos perjalanan dari Bungur Asih ke Probolinggo sebesar 23 ribu.
Jam 11 siang, bus memasuki Terminal Probolinggo. Dari sini kami harus melanjutkan perjalanan menuju Cemoro Lawang. Ada 2 pilihan untuk menuju Cemoro Lawang. Kalau mau cepat, bisa naik Ojek dengan ongkos sebesar 50 ribu rupiah. Kalau tidak terburu-buru, bisa naik mobil Bison dengan ongkos 25 ribu rupiah. Kalau anda memiliki tingkat kesabaran yang sangat tinggi, tidak ada salahnya untuk mencoba naik mobil Bison. Angkutan umum yang satu ini tidak akan berangkat kalo mobil belum benar-benar penuh, bahkan kurang 1 penumpang pun, mobil ini tetap tidak mau berangkat. Terpaksa kami harus menunggu lebih dari 1 jam!
Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan yang sangaaaaat indah. Jalan berkelok dan menanjak khas perbukitan dengan hamparan rumput yang menguning karena kemarau. Seandainya kami kemari setelah musim hujan, pasti kami bisa melihat bukit dan lembah yang subur menghijau. Dari balik jendela, saya melihat masyarakat Tengger yang selalu tidak bisa lepas dari kain sarung yang selalu membungkus tubuh mereka. Tak lupa, kami berpesan kepada pak supir untuk diturunkan di Yog Homestay, tempat kami akan menginap. Hampir 1 jam, akhirnya kami tiba di Cemoro Lawang, sebuah desa yang terletak di bibir kaldera Bromo.
Cemoro Lawang
Tak sulit untuk mencari Yog Homestay, karena lokasinya berada di ujung jalan, sekaligus sebagai tempat pemberhentian terakhir angkutan umum yang menuju Cemoro Lawang. Sebelah kirinya terdapat Hotel Cemoro Indah dimana disampingnya terdapat deretan bangku dan meja dengan pemandangan Gunung Bromo. Ah, ini dia lokasi yang sering saya lihat di FTV. Hahaha.
Sambil beristirahat, kami membicarakan rencana perjalanan kami dengan Mas Joko, salah satu pengelola di Yog Homestay. Kami memberi tahu beberapa tempat yang ingin kami kunjungi dari hasil pencarian kami di internet. “Mas, kalo saya mau mengambil gambar seperti ini, lokasinya ada dimana yah?” Tanya Adri dengan penuh semangat sambil menunjukkan beberapa gambar dari BBnya. Mas Joko memberikan saran kepada kami mengenai waktu dan tempat yang akan kami kunjungi selama 2 hari kedepan, sekaligus spot-spot menarik untuk mengambil gambar.
Penginapan yang kami tempati terbilang cukup nyaman. Harga sewa per hari sebesar 150 ribu dengan fasilitas tempat tidur besar dan kamar mandi dalam + air hangat. Pemilik penginapan juga menyediakan jasa sewa guide dan motor untuk berpergian selama di Bromo. Kami menyewa 2 motor + guide dengan harga sewa 250 ribu per orang untuk seharian, dari pagi hingga sore. Saya sangat merekomendasikan penginapan ini, selain tempatnya yang nyaman dan bersih, lokasinya juga berada di pinggir kaldera Bromo.
Sore hari kami manfaatkan untuk bersantai di perbukitan Cemoro Lawang. Duduk di rerumputan sambil menikmati pemandangan kaldera bromo, perkebunan daun bawang dan indahnya matahari terbenam dari balik perbukitan.
Pananjakan 2, Bukit Seruni
Rencana perjalanan pagi ini yang seharusnya menuju Pananjakan 1 menggunakan Jeep harus kami ubah. Beberapa teman Backpacker dari surabaya akan datang di keesokan harinya dan bergabung bersama kami. Syukurlah, kami punya waktu 2 hari bermalam di Cemoro Lawang, sehingga kami punya 2 kali kesempatan untuk menikmati Bromo Sunrise. Yang pertama di Pananjakan 2 atau biasa yang dikenal dengan Bukit Seruni. Sedangkan yang kedua adalah Pananjakan 1 dimana pengunjung harus menggunakan Jeep untuk bisa sampai ke lokasi.
Dua sepeda motor mengantarkan kami di tengah dinginnya pagi. Melewati jalan Cemoro Lawang yang gelap, berkelok dan menanjak. Sesekali kami harus menerjang gundukan pasir tebal akibat erupsi. Sesampainya di area parkir, perjalanan belum selesai. Kami harus melanjutkan perjalanan dengan mendaki undakan anak tangga untuk sampai di pananjakan.
Suasana pananjakan saat itu sangat gelap dan sepi. Hanya saya, Adri dan Mas Joko. Di pinggiran tebing, terdapat sebuah shelter yang mengarah ke Bromo. Cuaca saat itu cukup cerah dan tidak ada tanda-tanda akan turun kabut. Kata Mas Joko, sedikit sekali yang mengenal Pananjakan 2 karena lokasi ini hanya sebagai alternatif seandainya Pananjakan 1 ditutup atau mengalami perbaikan. Dari sini, kami bisa melihat deretan lampu-lampu jeep yang mengular melintasi kaldera Bromo menuju pananjakan. Saya dan Adri akhirnya memutuskan untuk kembali ke bawah menuju area parkir, karena menurut kami disitu adalah spot terbaik untuk mengambil gambar.
Perlahan tapi pasti, dari arah belakang semburat jingga mulai terlihat. Sinarnya menyapu kaldera dan kuningnya rerumputan semakin kontras dengan birunya langit. Gunung Bromo, Gunung Batok dan Gunung Kursi terlihat begitu gagah dengan sedikit berwarna keemasan diterpa matahari pagi. Jauh di belakang, Gunung Semeru dengan puncaknya yang sedikit tertutup awan.
Mengembara ke Pasir Berbisik dan Padang Savanna
Setelah sarapan pagi, saya dan Adri kembali menaiki sepeda motor menuju kaldera. Bagaikan sebuah mangkok raksasa dengan deretan tebing di sekelilingnya, saya seolah mengembara menuju padang pasir yang luas. Dari sini saya bisa melihat dari dekat panorama Bromo dan Batok.
Hembusan angin yang bertiup dari arah perbukitan menyapu hamparan pasir kesana kemari dengan penuh kelembutan sambil mengeluarkan suara bisikan “sssshhhhhhhsshhhh….”. Saya berdiri, berdiam di tengah hamparan pasir sambil memejamkan mata menahan badai pasir, dan suara desir bisikan itu kembali menyapa saya.
Di tengah kaldera terdapat sebuah bongkahan batu besar yang kalau diperhatikan mirip dengan singa. Masyarakat Tengger menamainya Watu Singo atau Batu Singa.
Melanjutkan perjalanan ke sisi selatan, pasir mulai berganti dengan rerumputan yang menguning. Di sebelah kiri terbentang tebing tinggi menjulang. Sebelah kanannya terdapat Gunung Kursi dengan gundukan bukit berwarna hijau atau biasa yang dikenal dengan Bukit Telettubies. Di ujung perbukitan sejauh mata memandang, tampak iringan awan berjalan dari satu bukit ke bukit lainnya. Seandainya saja saya kemari sesaat setelah musim hujan, mungkin saya bisa memandangi padang savanna yang menghijau.
Coban Pelangi
Dari tengah padang savanna, kami mulai memasuki jalan desa yang cukup kecil dan menanjak menuju air terjun Coban Pelangi yang terletak di kota Malang. Dari pinggiran tebing kami bisa melihat luasnya padang savanna. Di tengah perjalanan saya melihat penunjuk arah menuju Ranu Pani. “Mas Joko, nanti kesitu yah?”. Entah berapa kali saya mengingatkan Mas Joko untuk menuju Ranu Pani, sedikit khawatir kami tidak punya banyak waktu untuk menuju kesana. “Iya mas, setelah Coban Pelangi nanti kita kesitu”, ujar Mas Joko sambil menenangkan saya. Jarak 30 KM menuju Coban Pelangi kami tempuh dalam waktu 1 jam. Cukup membuat pantat saya pegal sepanjang perjalanan.
Harga tiket kawasan wisata Coban Pelangi terbilang cukup murah, hanya sebesar 5000 rupiah. Seperti pada umumnya perjalanan menuju air terjun, kontur jalan naik turun, undak-undakan berbatu dan berkelok-kelok. Bagi yang belum terbiasa jalan dalam suasana alam seperti ini memang cukup menguras tenaga. Sepanjang jalan saya disuguhkan pemandangan alam yang sangat asri dan alami, apalagi di kanan kiri berupa bukit dan jurang.
Bagi anda yang kelelahan tidak perlu khawatir, di sepanjang jalan tersedia warung-warung sederhana yang menjual mie instan, minuman ringan dan beberapa camilan sederhana seperti gorengan. Di samping warung juga terdapat toilet umum yang didepannya disediakan kotak kecil untuk sumbangan seiklhasnya.
Di tengah perjalanan, saya menjumpai jembatan bambu dimana sungai kecil mengalir cukup deras di bawahnya. Airnya dingin dan sangat jernih dengan batu-batu besar di bibir sungai. Sebuah pondok peristirahatan berada tepat di ujung jembatan yang sepertinya agak terlupakan karena dari jembatan ini suara gemuruh air terjun sudah terdengar. Melewati satu undakan besar terakhir dan pemandangan indah tepat di depan kami.
Coban Pelangi mengalir dari sebuah tebing dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Coban dalam bahasa jawa berarti air terjun, sedangkan nama Pelangi didapat karena di air terjun ini sering muncul pelangi akibat pembiasan cahaya saat melewati percikan air terjun. Sayang, saat itu cuaca agak sedang mendung dan gerimis.
Hutan yang hijau mengelilingi air terjun, hawa pegunungan yang sejuk, sungai yang jernih dan kicauan burung. Sungguh, pemandangan alam yang luar biasa indahnya.
Ranu Pani dan Ranu Regulo
Adri mengingatkan saya untuk tidak terlalu lama di Coban Pelangi, karena kami harus mengejar waktu menuju Ranu Pani agar tidak terlalu sore. Kami kembali menyusuri jalan yang tadi, hanya saja di pertigaan Jemplang kami mengambil jalan lurus menuju Ranu Pani sedangkan ke kiri menuju Bromo.
Perjalanan melewati hutan pegunungan Perhutani hingga kami memasuki perkebunan kentang dan rumah-rumah penduduk. Sesekali kami berpapasan dengan mobil bak terbuka pengangkut sayur dan truk yang membawa rombongan pendaki. Ranu Pani merupakan sebuah perkampungan di kaki gunung Semeru, sekaligus sebagai pos awal pendakian ke puncak Semeru. Sedikit ada rasa iri melihat beberapa pendaki yang beristirahat sambil bercengkerama sebelum mendaki menuju Semeru. “Bro, kapan kita ke Ranu Kumbolo dan puncak Semeru?”, tanya Adri. Suatu saat saya akan kembali lagi kesini, menuju Ranu Kumbolo dan puncak Semeru.
Di belakang desa ini terdapat dua danau yang sangat indah, yaitu Ranu Pani dan Ranu Regulo. Ranu dalam bahasa jawa berarti danau. Luas Ranu Pani lebih kurang 5,6 hektar. Sedangkan luas Ranu Regulo sedikit lebih kecil dibandingkan Ranu Pani, yaitu lebih kurang 3,4 hektar. Dua danau yang masuk ke dalam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini memiliki ketinggian 2.100 mdpl.
Menurut penuturan Mas Joko, Ranu Pani baru saja dibersihkan dari eceng gondok beberapa minggu yang lalu, jadi sekarang danaunya terlihat lebih bersih. Saya masih bisa melihat sisa-sisa pembersihan di pinggiran danau. Ranu Pani sangat indah dengan latar belakang perbukitan dan rumah-rumah penduduk. Sedikit berjalan ke arah belakang, saya melewati jalan kecil dimana kanan dan kirinya terdapat perkebunan tanaman organik sampai akhirnya saya menjumpai satu rumah yang digunakan sebagai pos penjagaan Ranu Regulo.
Mendung hitam masih bergelayut di langit. Saya berjalan mengitari danau, melewati semak-semak belukar yang sangat tinggi dan bahkan harus menerobos ranting-ranting kering pohon cemara dan pinus yang berjatuhan menutupi jalan setapak. Suasana hening Ranu Regulo memberikan kesan mistis bagi kami.
Perlahan tapi pasti, matahari mulai menyibak kabut dari balik bukit. Secercah cahaya jatuh di permukaan danau sehingga menciptakan kilauan cahaya bak bintang-bintang yang bertaburan di permukaan danau. Semakin sore, angin pegunungan mulai hilang dan berganti hawa dingin yang semakin terasa. Air danau menjadi tenang hingga terlihat refleksi perbukitan. Oh Tuhan, indahnya!
Pananjakan 2
Handphone Adri berdering kencang. “Cendy menuju kesini do!” seraya membangunkan saya. “Hmm.. iyah”, gumam saya sambil setengah sadar menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Dengan mata masih terkantuk, saya melihat jam. “Hah.. jam 3?!”
Kami kedatangan tamu jam 3 pagi, seorang teman perjalanan yang bagaikan seorang Ibu bagi kami, namanya Cendy. Di komunitas kami Cendy seringkali dipanggil dengan sebutan Maknyak atau Emak. Biasanya panggilan tersebut disematkan untuk seseorang yang dianggap senior, sering jadi tour leader atau sudah lama malang melintang di dunia perbackpackeran. Hahaha.
Cendy datang bersama dengan 3 teman dari Surabaya. Ada sofyan, fatah dan fatah (saudaranya thompson and thompson.. haha). Mereka akan bergabung bersama kami menjelajahi Bromo pagi ini. “Pas banget, sebentar lagi kita akan menuju pananjakan”, ucap saya. “Terus do, kita udah pesan Jeep?”, ternyata Cendy masih khawatir dengan persiapan akomodasi. “Tenang aja, semuanya udah beres, 2 Jeep sudah kita pesan sampai nanti siang”.
Malam sebelumnya, saya sudah memesan terlebih dahulu ke Mas Joko untuk memesankan 2 Jeep untuk kami di Paguyuban Jeep Bromo. 1 Jeep kami sewa sebesar 350 ribu rupiah. Harga sewa hanya untuk ke Pananjakan dan Gunung Bromo. Kalau ingin lanjut ke Pasir Berbisik dan Padang Savanna, kami harus menambahkan 200 ribu rupiah. Untuk biaya tambahan dan lamanya perjalanan tergantung negosiasi dengan pak supir.
Toyota Land Cruiser berwarna hijau dan biru sudah bersiap di depan penginapan. Jeep bermesin 4WD inilah yang akan membawa kami ke puncak Penanjakan. Saya duduk di depan, disamping pak supir yang sedang bekerja, menerobos kabut pasir di kaldera Bromo. Hampir semua Jeep yang ada di Bromo keluar secara serentak, mengular menuju Pananjakan. Kereeen!
Berbeda dengan Pananjakan di hari sebelumnya, kali ini tempatnya lebih tinggi dan tempat paling umum yang digunakan wisatawan untuk mengabadikan sang surya bangkit dari lelapnya. Jalannya berkelok dengan tanjakan tajam. Beberapa kali kami harus memelankan kendaraan melewati jalan rusak dan menyempit akibat perbaikan jalan. Menurut Pak Supir, kami beruntung bisa kemari bulan ini, karena bulan depan jalan menuju Pananjakan akan ditutup total mengalami perbaikan.
Ini Dia, Sunrise!
View di sekitar pananjakan sudah penuh berdesakan bagaikan pasar kaget. Adri dan Mas Joko terlepas dari pandangan saya. Fatah dan Cendy memanggil saya yang kebingungan harus berada di mana di tengah keramaian ini. Pananjakan luar biasa penuhnya!
Saya mencoba mengitari lokasi 2 kali sambil berteriak “Driii!!!” di tengah keremangan. Untungnya setelah sekian kali berteriak bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya, terdengar suara sahutan “Di sini do, deket pager di bawah!”. Wow, banyak sekali tripodnya! Lokasi yang Adri tempati merupakan lokasi favorit bagi fotografer untuk mengabadikan momen terindah di Bromo. Mas Joko duduk di samping Adri, berusaha memberikan tempat untuk saya. “Ah.. maturnuwun sanget Mas Joko, udah di ‘take’in tempat untuk saya”. Kemudian Mas Joko pergi, menghilang dari kegelapan. Semoga Mas Joko menemukan teman-teman. Hahaha.
Semburat kuning mulai berpendar di ufuk timur, merona wajah langit dengan malu-malu. Udara dingin masih setia menemani pagi, menunggu kehangatan datang menjemput. Sinar mentari masuk melalui celah-celah dedaunan hingga memantulkan cahaya keemasan. Di depan saya, Batok, Bromo dan Semeru terlihat begitu gagah dalam satu garis lurus.
Adri mengaburkan decak kagum saya dalam lamunan. “Do, jangan lupa pasang GND filternya!”. Ah.. benar saja, saya kemari juga untuk menangkap momen yang mungkin sudah jutaan orang mengambil gambar yang sama, diambil dari waktu dan tempat yang sama dan decak kagum yang sama, Bromo itu indah!
Kaldera Bromo
Jeep kami menjadi jeep yang paling terakhir pulang dari Pananjakan. Ketika sampai di depan Pura Luhur Poten, sudah banyak jasa penyewaan kuda yang menyambut kedatangan kami. Mulailah tawar menawar terjadi. “Berapa Pak satu kudanya?” tanya Sofyan. “100 ribu pak”, jawab salah satu penyewa kuda. Sofyan mulai menawar, “6 Kuda 500 ribu”. “Wah, gak bisa pak”, salah satu penyewa kuda agak keberatan dengan harga segitu. “Ya udah, kalo gitu gak jadi!”, jawab Sofyan dengan santai, sambil berharap penyewa kuda akan kembali menurunkan harganya. Ternyata tidak! Jalan kaki deh kita semua. Hahaha.
Ada yang menarik dari penyewaan kuda. Semakin lama, semakin kita mendekat ke arah Bromo, tarif kuda pun semakin turun. Sambil membuntuti rombongan kami dari belakang, harga mulai berubah. Yang tadinya 100 ribu, sekarang jadi 80 ribu. Melewati Pura Luhur Poten, harganya jadi 50 ribu. Sedikit lagi sampai ke anak tangga menuju kawah bromo, harganya jadi 20 ribu! Hahaha. Kuda-kuda di Bromo, hampir kebanyakan didatangkan dari Sumbawa dan jumlahnya lebih dari 500 ekor.
Berjalan kaki selama 20 menit belum selesai. Saya harus menaiki 198 anak tangga yang hampir tertutup pasir untuk sampai ke bibir kawah. Berjalan di atas pasir butuh kesabaran dan tenaga ekstra. Selain berat, juga beberapa kali debu berterbangan menyapu wajah kami. Dua langkah naik, satu langkah turun.
Sesampainya di Puncak Bromo yang memiliki ketinggian 2.392 mdpl, saya dapat melihat kawah Bromo yang berwarna hijau dan mengeluarkan asap tebal. Kawah Bromo memiliki diameter sekitar 800 meter dari utara ke selatan dan 600 meter dari timur ke barat. Di pinggir kawah terdapat pagar semen yang sudah rusak, namun cukup aman untuk melindungi sekaligus penanda area berbahaya bagi pengunjung. Melayangkan pandangan ke bawah, terlihat hamparan lautan pasir dan tebing tinggi di pinggiran kaldera. Benar-benar pemandangan yang luar biasa.
Ada fakta menarik dari Bromo yang jarang diketahui wisatawan. Biasanya yang berangkat dari Cemoro Lawang masih menganggap bahwa Bromo berada di Kabupaten Probolinggo. Ternyata tidak hanya Probolinggo. Secara geografis, kawasan Bromo juga masuk ke dalam Kabupaten Malang dan Lumajang. Hanya saja pintu masuk yang paling mudah dan paling ramai adalah melalui Kabupaten Probolinggo.
Saya kembali mengunjungi padang savanna. Kali ini sensasinya berbeda dibandingkan naik motor.
Matahari bersinar begitu teriknya dan perjalanan menjelajahi Bromo kami sudahi siang itu. Saya mengingatkan Adri dan Cendy kalau kita harus sampai di Surabaya jam 7 malam dan syukurlah kami masih punya banyak waktu untuk mengunjungi air terjun Madakaripura dan wisata kuliner di kota Surabaya.
Setelah urusan mengemas barang-barang selesai, kami lalu berpamitan dengan Mas Joko yang sudah menemani dan mengantarkan kami ke tempat-tempat luar biasa di Bromo. Perjalanan menuju Madakaripura sekaligus menjadi perjalanan pulang dari Bromo.
Madakaripura
Kedatangan kami langsung disambut oleh patung Mahapatih Gajah Mada yang sedang duduk bersila dengan tatapan tajam. Untuk menuju air terjun yang terletak di Kecamatan Lumbang, Probolinggi ini, kami harus menyusuri pinggiran sungai dengan jalan berkelok dan penuh dengan bebatuan besar. Bahkan, kami harus beberapa kali menyeberangi aliran sungai yang cukup deras.
Yang menarik dari Madakaripura adalah kami harus melewati air terjun yang meneteskan air pada seluruh tebingnya sehingga membentuk tirai tipis. Siapapun yang melintas sudah pasti basah kuyup. Hal ini dimanfaatkan penduduk sekitar untuk jasa penyewaan payung. “Harga sewa payungnya berapa pak?” tanya Cendy. “Lima ribu saja”, jawab salah satu penyedia jasa sambil mengambil 6 payung untuk kami. Payungnya sangat besar dengan motif pelangi. Kami semua berjalan beriringan di bawah tirai hujan sambil berpayung ria.
Setelah melewati tirai hujan, rintangan berikutnya kami harus mendaki dinding batu yang cukup licin dan terjal. Dari dinding batu ini barulah kami bisa melihat megahnya air terjun Madakaripura. Tingginya sekitar 200 meter dan tertutup oleh tebing yang menyerupai sumur raksasa.
Saya dan Adri hanya duduk-duduk di pinggiran tebing sambil mengambil gambar. Sedangkan Cendy, Sofyan, Fatah and Fatah asik bermain air. Di pojok tebing saya melihat kembang melati yang berserakan sisa sesajen. Hihih… sedikit agak merinding dengan nuansa mistis bercampur mitos sejarah. Banyak yang berkeyakinan bahwa Madakaripura bukan tempat sembarangan. Konon disinilah Gajah Mada mendapatkan kesaktian dan juga sebagai tempat terakhirnya (Mada Kari Pura: tempat terakhir) menuju Nirwana atau yang dikenal dengan istilah Moksa menurut kepercayaan Hindu Budha.
Puas bermain air, kami langsung ngebut menuju kota Surabaya. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Saya berpesan kepada Sofyan untuk mengantarkan kami untuk ke beberapa tempat makan terlebih dahulu. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Lontong Kupang dengan cemilan Sate Kerang. Makanan khas daerah Jawa Timur ini terdiri dari kupang (sejenis kerang putih yang kecil-kecil) dicampur dengan lontong dan petis. Awalnya cukup enak, tapi lama kelamaan membuat saya mual. Tempat kedua yang kami sambangi adalah Rawon Setan Surabaya. Rawon yang namanya memakai nama gaib ini sangat terkenal di Surabaya. Lokasinya berada persis di depan Hotel J.W. Marriot. Irisan dagingnya besar-besar dan sangat empuk, apalagi kalau diakhiri dengan seduhan Beras Kencur hangat, hmmm… maknyusss tenan rek! Dan akhirnya, tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Pasar Genteng. Lokasi ini sangat terkenal sebagai rujukan untuk membeli oleh-oleh di Surabaya.
Puas rasanya liburan kali ini. Foto-foto, jalan-jalan, makan-makan. Jam menunjukan pukul 21.30, pesawat menuju Jakarta terlambat 45 menit. Saya, Adri dan Cendy kembali melanjutkan cerita galau kami.
Hey Savanna, kalau kau sudah menghijau, panggil saya. Saya pasti akan kembali!
One Response to “Mengejar Sunrise ke Pananjakan Bromo”
Mantabbb, Alam yang indah tapi tampaknya kurang promosi, malah pada kabur keluar negeri wisatanya