Mengarungi 20 Jeram Sungai Cicatih
Bermula dari 2 buah voucher Riam Jeram yang saya dan Tissa dapet dari undian pameran DEEP & EXTREME Indonesia 2011 tanggal 31 Maret. Kami pun mulai mencari-cari waktu yang tepat untuk menggunakan voucher gratisan ini sambil mengajak teman-teman kantor, berharap kita bisa pergi rame-rame berarung jeram. Hmm.. tapi apa daya, ternyata cuma Rhea saja yang mau ikut dengan kami. Setelah kami bertiga berembug, akhirnya kami memutuskan untuk pergi di awal Juni, yeaay… pas banget ada long weekend.
Perjalanan kami mulai dari terminal Kampung Rambutan. Rhea dan Tissa berusaha mencari-cari bus AC yang menuju Sukabumi. Tapi sayang, tidak ada satupun bus AC yang menuju Sukabumi, hanya bus Langgeng Jaya yang masih sepi penumpang dihadapan kami. Satu jam kami bersabar menunggu sampai bus terisi penuh. Tepat pukul 08.30 perlahan-lahan bus mulai bergerak keluar terminal.
Setelah memasuki Ciawi, tiba-tiba minibus MGI menyalip bus kami… wushhh.. serentak kami melihat tulisan “Pelabuhan Ratu – Bogor” di kaca belakang bus dan kami pun saling berpandangan. “Ahh… kenapa tadi kita nggak ke Bogor aja yah, kita naik kereta dari Stasiun Cawang”. Sedikit menyesal, tapi… ya sudahlah.
Sesampainya di pertigaan Cibadak, kami harus menyambung lagi menuju Meeting Point Riam Jeram yang berada di Jalan Raya Pelabuhan Ratu. Tadinya kami akan menggunakan angkot berwarna putih yang menuju Riam Jeram, tapi tiba-tiba bus MGI nongol begitu saja di hadapan kami. Yeaay… akhirnya kami pun kesampaian juga naik bus ini. Hahaha. Ketika tiba di Meeting Point, kami disambut oleh Kang Kubil, salah satu petugas Riam Jeram. Kang Kubil mempersilahkan kami untuk beristirahat sejenak dan mengganti pakaian.
Dengan mobil pick-up kami diantarkan menuju sungai Cicatih yang terletak di desa Bojongkerta. Perjalanan kami tempuh selama 20 menit melewati pemandangan hutan karet dan hamparan sawah yang menghijau. Jalan aspal yang rusak dan berbatu tidak membuat pak supir melambatkan kendaraannya sedikitpun. Tadinya saya pikir sungai Cicatih itu bening karena dari namanya “WhiteWater Rafting”. Ternyata saya salah, sungai Cicatih begitu coklat karena endapan lumpur dan erosi tanah yang terbawa dari hulu.
Dari kejauhan tampak perahu karet berwarna jingga, berbaris rapih menanti kedatangan kami. Sebelum pengarungan dimulai, saya berkenalan dengan Kang Wawan dan Kang Asep, yang akan menjadi pemandu dan skipper kami selama pengarungan. Kang Wawan mulai memberikan instruksi dan mengenalkan aba-aba kepada kami. Awalnya saya begitu senang dan tidak sabar berada di atas perahu, tapi begitu kaki mulai menginjak perahu, kok jadi deg-deg’an yah.. hahaha. Kang Wawan mulai memberikan aba-aba “dayung maju 1.. 2.. 1.. 2..” dan perahu mulai bergerak maju di tengah riaknya sungai Cicatih. Perasaan deg-deg’an sirna begitu saja dan perahu kami menjadi perahu pertama yang memulai pengarungan.
Sebelum menikmati jeram pertama, Kang Wawan meminta kami untuk nyebur ke sungai. Selain untuk merasakan sungai Cicatih, kami pun diajari posisi badan ketika kami terlempar atau keluar dari perahu dan bagaimana caranya mengangkat teman yang tercebur ke atas perahu.
Menuju jeram pertama, Kang Asep mengatakan bahwa kami akan mengarungi 20 jeram sejauh 12KM, yang akan kami tempuh selama lebih kurang 2,5 jam. Ketika kami sedang asyik memandangi tebing-tebing tinggi dan beberapa biawak yang sedang bercengkrama di pinggir sungai, tiba-tiba Kang Wawan berteriak “Jeram slalom, dayung maju!”. Wow, perasaan senang campur dag dig dug mulai berkecamuk, saya mulai mendayung sekuat tenaga. Ketika jeram mulai terlihat, Kang Wawan mulai memberi kami aba-aba “Stop” dan dayung pun langsung kami angkat. Siap-siap… byuuuurrr… perahu kami menerjang jeram dengan cepatnya, perahu terombang ambing dan cipratan air membasahi wajah saya. Wuuuoow.. luar biasa! Tak sabar menanti jeram berikutnya.
Setiap jeram mempunyai nama yang unik, seperti: Jeram ngehe, serius, jontor, kuku patah, under cut, pabeulit/ ruwet, asmara, gerbang, zigzag, warok, marzuki, gigi, rollercoaster, blender, panjang, terlena, cihuy, kerinduan, maskot dan harga diri. Jeram tersebut dinamai karena ada peristiwa atau kejadian unik yang terjadi selama pengarungan.
Jeram Ngehe adalah jeram yang paling nyebelin karena sering banget perahu terbalik di jeram ini. Lain halnya dengan Jeram kuku patah, dinamakan demikian karena ada seorang wanita yang pernah jatuh dan kukunya patah. Wanita itu pun tidak henti-hentinya menangis sampai tiba di jeram terakhir. Adalagi Jeram asmara, perahu yang berisi pasangan kekasih pernah terbalik di jeram ini, kemudian setiap laki-laki berusaha mencari pasangannya masing-masing. Bahkan ada jeram yang dinamakan dari nama Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada Kabinet Reformasi, yaitu Bapak Marzuki Usman. Di jeram ini, pak Marzuki pernah mencicipi segarnya sungai Cicatih.
Tidak terasa kami sudah melewai jeram kesepuluh atau Jeram ZigZag. Perahu kami pun menepi, mengarah ke sebuah gubuk di tepi sungai. Kelapa muda dan bakwan menemani kami sambil beristirahat. Beberapa pemandu mulai mengecek dan memompa kembali perahu mereka.
Perjalanan kami lanjutkan. Setelah melewati Jeram Warok, Marzuki, Gigi, Rollercoaster, Blender, Panjang, Terlena, danĀ Cihuy, sungai tampak kian melebar karena bertemu dengan sungai Cimandiri yang berasal dari Gunung Gede Pangarango. Tak lupa, Kang Asep selalu menyemangati kami dengan tos dayung setiap usai melewati jeram.
Dari belakang, Kang Wawan berteriak kembali “Jeram Kerinduan” dilanjutkan dengan Kang Asep yang mulai bercerita mengenai sejarah Jeram Kerinduan. Dinamakan Jeram kerinduan karena river guide/skipper selalu memberikan permainan sebelum menuju jeram terakhir. Dan ini merupakan jeram favorit saya! Keahlian skipper mampu membuat perahu kami berputar sampai 4 kali di atas derasnya jeram. Woow.. luar biasa! Pas dengan namanya.. membuat kami rindu untuk mengulanginya lagi. Sungguh, jeram yang mampu mewakili perasaan hati.
Setelah melewati Jeram Harga Diri, kami melabuhkan perahu kami di Kampung Jeram di Desa Leuwilalay. Puas, senang, gembira, ceria.. begitulah yang terpancar dari wajah kami. Kami dipersilakan mandi dan berganti pakaian, lalu menikmati makan prasmanan khas sunda sambil bersantai di atas saung dan melihat foto-foto selama pengarungan. Saya pikir, saya bisa mengkopi foto-foto yang diambil selama pengarungan, ternyata saya harus membeli foto itu seharaga 10 ribu per foto dan total ada 31 foto. Ketika saya bertanya “Sabaraha sadayana?”. Entah karena efek bahasa sunda atau apa, petugas disitu menjawab “Ya sudah, untuk Kang Adi, semuanya 100 ribu saja”. Yeaaay!
Waktu menunjukkan jam 5 sore dan sepertinya kami peserta terakhir yang berada di tempat itu. Setelah berkemas, Kang Kubil memberikan kami sertifikat sebagai bukti partisipasi, setelah itu mengantarkan kami kembali ke Cibadak. Pas turun di pasar Cibadak, tiba-tiba… yeaay (again!) bus MGI itu lagi. Hahaha.
3 Responses to “Mengarungi 20 Jeram Sungai Cicatih”
wah berarti gw duluan donk…
gw dah kesitu tahun kemaren Bro…
ambil paket yg middle…
rencananya sih kalo kesana lagi mo ambil paket yg sampe laut…hehehehe…
3 hari 2 malem…pake acara kemping di tenda gitu…
btw kemaren gw foto ga sampe 100rb lho…
mantap yak…
Iya bro, seru abis. Next time mo nyobain nginep di kampung jeram.
Kapan-kapan nyok kesono bareng, kita cobain yang sampe laut :))
[…] saya tidak lagi ke Gede. Rencana itu pun akhirnya saya lemparkan ke Rhea dan Tissa sepulang dari Cicatih, dan mereka sangat antusias sambil bercerita mengenai kenangan terakhir mereka ke Gede. Yes, toss […]