Jelajah Budaya di Tana Toraja
Salah satu keahlian yang dibutuhkan oleh seorang Backpacker adalah berburu tiket murah. Teman saya beruntung memiliki keahlian itu, Yani adalah salah satunya. Bermodalkan notebook, koneksi internet, cemilan dan menunggu waktu yang tepat untuk tiket promo, tiket Makassar seharga 0 rupiah sudah ditangan. Ya, saya tidak salah tulis, Nol Rupiah!
Rinciannya sebagai berikut:
5 Guest : 0.00 IDR
Iuran Wajib Jasa Raharja : 50000.00
IDR 10 x Check-In Baggage – up to 15kg: 400.000
Total 450 ribu untuk lima orang. Jadi per orang hanya mengeluarkan 90 ribu Jakarta – Makassar PP + Bagasi 15 Kg. Murah bukan? Saya pernah mencoba hampir puluhan kali di jam yang sama, hasilnya mahal-mahal juga. Hahaha. Kata Yani, tips untuk mendapatkan tiket murah adalah cari di pertengahan tahun dan hindari long weekend. Ah, tetap aja nggak berhasil.
Berbekal tiket murah yang dibeli Yani, kami (Saya, Yani, Ardi, Adri dan Ema) mulai menyusun rencana perjalanan selama 4 hari di Makassar. Awalnya agak pusing, karena kami memasukkan banyak tempat wisata dan juga keinginan masing-masing yang berbeda. Saya dan Adri lebih menyukai wisata alam, sedangkan Yani dan Ema lebih menyukai wisata pantai. Beruntung, Ardi yang orang Makassar langsung membuatkan rencana perjalanan untuk kami. “Pokoknya, harus ada lautnya yah”, pesan Yani.
8 Jam Menuju Tana Toraja
Pesawat kami tiba di Bandara Sultan Hasanuddin tepat tengah malam. Kedatangan kami langsung dijemput oleh Pak Buyung dengan Avanzanya. Sebelum menuju ke Toraja, kami terlebih dahulu singgah ke rumah Ardi di Pare-Pare untuk beristirahat sampai pagi.
Tepat jam 8 pagi, kami berangkat menuju Toraja. Dari kami berlima, hanya saya yang membawa daypack untuk keperluan selama 4 hari, kamera dan tripod. Sedangkan keempat teman saya, semuanya membawa koper besar ditambah tas bawaan pribadi. Avanza yang isinya 6 orang terasa cukup padat.
“Bro, perjalanan ke Toraja berapa lama yah?”, tanya Adri. “Kira-kira 8 jam”, jawab Ardi. Meski dengan jarak tempuh 8 jam lamanya, kami dimanjakan dengan pemandangan memukau di sepanjang perjalanan. Jalan yang berkelak kelok, tanjakan dan turunan, lanskap pegunungan dan lautan, ditambah langit biru yang cerah.
Sekitar jam 4 sore kami tiba di Rantepao. Menurut info yang kami dapat dari masyarakat, besok pagi akan ada upacara adat Rambu Solok. Di bawah rintik hujan, tanya sana sini ke penduduk setempat, akhirnya kami tiba juga di desa tersebut. Ketika kami datang, masyarakat desa sedang bergotong royong mempersiapkan upacara untuk esok hari. Panggung-panggung besar dan panjang berdiri di pinggir lapangan yang becek terguyur hujan. Di tengah lapangan terdapat bambu-bambu yang dipancang untuk penyembelihan hewan. Setelah melihat-melihat sebentar, kami langsung beranjak pergi menuju Kete Kesu.
Kete Kesu, Desa Wisata dengan Rumah Adat Tongkonan
Kete Kesu merupakan desa wisata yang terletak di Kecamatan Rantepao di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.Tempat ini merupakan salah satu lokasi utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Toraja. Di dalam Kete Kesu terdapat rumah adat khas Toraja yang dikenal dengan nama Tongkonan dan peninggalan purbakala berupa kuburan batu.
Tongkonan merupakan rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu dengan berbagai macam motif ukiran dan corak abstrak. Ornamen ini memiliki 4 warna dasar yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Hitam melambangkan kematian. Merah melambangkan warna darah atau kehidupan. Kuning melambangkan anugerah dan Putih melambangkan tulang atau kesucian.
Gambar Ayam dan lingkaran yang melambangkan Matahari merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara, dimana Ayam merupakan simbol untuk Hakim. Dahulu jika ada yang berselisih, mereka akan mengadu ayam dan jika ayamnya menang maka dialah yang akan keluar sebagai pemenang.
Motif lingkaran merupakan simbol untuk Matahari. Bentuk motif ini adalah terdiri atas empat lingkaran yang tersusun. Ukiran ini adalah lambang sumber kehidupan yang berasal dari sang pencipta. Maknanya adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu di dunia ini adalah dari Puang Matua (Tuhan yang Maha Esa) dan pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia. Tongkonan milik bangsawan biasanya diukir penuh dan dari kelas yang bukan bangsawan tidak boleh dikukir.
Satu hal yang menarik di rumah tongkonan adalah kepala kerbau dengan deretan tanduk. Bagi masyarakat Toraja, kepala dan tanduk kerbau adalah penanda kemakmuran serta hidup berkelimpahan. Selain itu juga sebagai penanda status sosial.
Kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial di Tana Toraja. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong merupakan penanda status sosial. Pudu adalah kerbau yang sangat hitam dan merupakan kerbau yang paling banyak dijumpai di Toraja. Kerbau jenis ini sangat kuat untuk bertarung.
Salah satu objek menarik di Kete Kesu adalah kerbau hitam. Cobalah untuk mendekat dan tidak perlu takut. Kerbau akan tetap bergeming selama kita tidak mengganggu.
Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tengkorak kepala kerbau yang dipasang, maka semakin tinggi status sosialnya.
Upacara Rambu Solok
Sistem kepercayaan adat tradisional masyarakat Toraja adalah Animisme yang dikenal dengan nama Aluk To Dolo. Selain itu masyarakat Toraja beragama Kristen dan Islam. Penganut Aluk To Dolo masih melestarikan upacara adat yang terdiri 2 upacara besar, yaitu upacara Rambu Tuka atau kegembiraan dan upacara Rambu Solok atau kedukaan.
Upacara Rambu Solok ini merupakan upacara yang paling meriah sekaligus mahal karena dilangsungkan berhari-hari. Apalagi jika anggota keluarga adalah orang yang sangat terpandang, upacara akan berlangsung mewah dan besar-besaran. Benar saja, yang meninggal dalam upacara kali ini adalah seorang purnawirawan perwira polisi. Salah satu budaya di tana toraja ini adalah peristiwa yang jarang dijumpai oleh traveler. Beruntung, kami bisa melihat upacara ini secara langsung.
Di ujung depan wanita-wanita tua mulai menyanyikan lagu adat dan anak-anak mulai memukul lesung sebagai penanda bahwa tamu keluarga sudah datang. Dari jam 7 pagi hingga jam 10, saya tak henti-hentinya melihat anggota keluarga yang datang sambil memboyong babi sebagai kurban sembelihan.
Yang paling menegangkan adalah bagian penyembelihan kerbau. Kerbau didirikan dan ditarik oleh 8 orang dengan menggunakan tali supaya tidak bergerak. Kemudian seorang penjagal dengan goloknya menyembelih kerbau dengan satu kali tebasan. Kerbau yang menggelapar didiamkan begitu saja sampai mati. Sang penjagal belum berhenti disitu, satu ekor babi yang sudah diikat talinya juga disembelih dengan satu kali tebasan. Agak horor juga ngeliatnya, banyak darah bercucuran dimana-mana. Hahaha.
Sementara itu, keranda mayat dengan hiasan hitam dan merah sudah siap untuk diarak keliling desa. Butuh puluhan orang untuk mengangkat keranda yang cukup berat ini. Di barisan depan terdapat orang-orang dengan baju hitam sambil membawa kain berwarna merah yang panjang, kemudian diikuti oleh keranda. Keranda digotong dan dibawa keliling desa kemudian kembali lagi ke tempat upacara.
Kuburan Batu Londa
Londa terletak di desa Sendan Uai, kecamatan Sanggalai. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari kota Rantepao. Londa merupakan kuburan batu yang berasal dari goa. Goa ini memiliki panjang sekitar 1000 meter. Untuk bisa masuk ke dalam goa ini, kami harus membayar 30 ribu untuk sewa petromak sekaligus pemandu lokal.
Di luarnya terdapat keranda kayu yang ditaruh di celah-celah batuan dan ada sepasang tengkorak kepala. Sepertinya didiamkan begitu saja hingga banyak yang lapuk dan rapuh. Sedangkan di dalamnya terdapat banyak tengkorak, tulang belulang dan peti mati yang usianya sudah ratusan tahun. Bahkan ada juga peti-peti yang yang masih baru disitu. Tempatnya gelap, banyak tanjakan dan turunan terjal. Ada beberapa tempat yang mengharuskan kami menunduk untuk melewatinya. Anehnya, walaupun terdapat banyak tengkorak dan peti mati, saya tidak mencium aroma busuk di dalam goa.
Kuburan Batu Lemo
Lemo terletak di Desa Pangden, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Lemo berarti “jeruk”. Dinamakan Lemo karena goa batunya terlihat seperti pori-pori kulit jeruk. Goa batu yang berukuran 3 x 5 meter ini diisi oleh “erong” (peti mati) yang berada dalam satu keluarga. Dinding tebing dipahat terlebih dahulu, barulah kemudian erong dimasukkan ke dalam pahatan tersebut.
Hal yang menarik di Kuburan Batu Lemo adalah adanya deretan Tau-Tau yang diletakkan dekat lubang-lubang pahatan. Tau-Tau ini sebagai representasi/ manifestasi orang yang sudah meninggal.
Patung Tau Tau mempunyai pola yang serupa dimana telapak tangan kanan menghadap ke atas dan tangan kiri menghadap ke bawah. Artinya mereka yang sudah meninggal butuh bantuan keturunannya untuk menuju surga dan yang masih hidup mengharapkan berkah dari yang sudah meninggal.
Waktu menunjukkan jam 5 sore. Selesai makan sore sekaligus malam, kami langsung bergegas menuju Maros. Okay, perjalanan 8 jam dimulai lagi. Jadi kami akan sampai Maros kira-kira jam 1 pagi.
Berbeda ketika kami berangkat menuju Rantepao, suasana masih menyenangkan, badan masih segar dan bisa lihat pemandangan kanan kiri. Sedangkan perjalanan ke Maros dalam keadaan capek. Kontur jalan yang penuh tanjakan, turunan dan kelokan berhasil membuat kami semobil mual-mual. “Pak, minggir sebentar”, teriak Adri. Serempak, kami muntah bareng di pinggir jalan.
Sesampainya di Maros, kami menginap di rumah teman yang aktif di Backpacker Regional Makassar, namanya Anca. Kami sengaja menginap di Maros, karena jaraknya yang dekat dengan tujuan kami berikutnya, Rammang Rammang.
Rammang Rammang dan Kampung Berua
Pagi-pagi betul, Anca mengantarkan kami menuju Rammang Rammang. Rammang Rammang terletak di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Rammang Rammang merupakan sebuah dusun yang terkenal dengan bukit karst dan pemandangannya yang hijau. Konon katanya, desa ini memiliki gugusan karst terbesar kedua setelah Guilin, China.
Untuk menuju ke Desa ini, kami harus berangkat dari Dermaga Rammang Rammang yang letaknya tidak jauh dari pabrik semen Botsawa. Dengan menaiki perahu bermotor atau yang dikenal dengan nama ‘katinting’, kami menyusuri Sungai Pute yang tenang dimana kanan dan kiri terhampar pemandangan bukit karst yang indah atau yang biasa dikenal dengan Taman Hutan Kapur.
Tak terasa, perjalanan 30 menit menyusuri sungai, sampailah kami di sebuah desa nan asri yang bernama Kampung Berua. Desa ini terletak di tengah-tengah gugusan bukit karst dengan hamparan sawahnya yang hijau dan beberapa empang milik penduduk setempat. Tidak banyak rumah yang saya temui perkampungan ini.
Bantimurung
Bantimurung merupakan Taman Nasional yang terletak di sebelah utara Makassar. Arti dari nama ini adalah membanting kemurungan. Maksudnya, kalau kita datang kesini dijamin tidak akan murung lagi. Tapi itu tidak berhasil buat saya. Taman Nasional yang terkenal dengan kupu-kupunya ini malah tidak ada kupu-kupu sama sekali. Yang banyak adalah penjual cinderamata kupu-kupu berbagai spesies di dalam bingkai kaca. Sayang, ketika akan masuk ke dalam museum kupu-kupu kondisinya sedang dalam renovasi dan pengunjung tidak diijinkan untuk masuk. Sambil melepas lelah, saya menyewa sebuah tikar seharga 10ribu untuk bersantai di pinggir air terjun.
Pulau Samalona
Siapkan kamera, tripod, filter CPL dan ND Graduated. Langit di Samalona sangat indah.
Ini adalah permintaan spesial dari Yani. Ardi harus bernegosiasi cukup alot dengan Pak Enal, sang pemilik kapal untuk dapat menyeberang ke pulau Samalona.
Kali pertama datang ke pulau ini langsung disambut dengan matahari terbenam dengan balutan warna jingga yang indah. Samalona adalah pulau kecil yang terletak di selat Makassar, tepatnya di sebelah barat daya kota Makassar. Waktu tempuh untuk menuju pulau samalona sekitar 30 menit dari dermaga yang letaknya tepat di depan Fort Rotterdam.
Pulau yang luasnya 2 KM persegi ini memiliki terumbu karang bawah laut yang indah. Selain pasirnya yang putih, airnya juga jernih dan dangkal. Banyak wisatawan yang berkunjung ke pulau ini untuk sekadar bermain jet ski dan snorkeling.
Matahari terbit adalah yang paling kami tunggu-tunggu. Saya, Adri, Ardi dan Yani sibuk mengambil gambar. Sedangkan Ema lebih memilih untuk bersantai di pantai.
Setelah puas menikmati sunrise, kami langsung berangkat menuju pulau Kodingareng Keke yang jaraknya 30 menit dari Pulau Samalona. Pulau tidak berpenghuni ini adalah spot favorit untuk snorkeling.
Fort Rotterdam dan Masjid Terapung
Agak kecewa ketika saya tiba di kota Makassar. Tadinya saya berniat membeli kaos toraja dan beberapa oleh-oleh disini, tapi kaos torajanya sedikit sekali dan menurut saya lebih bagus di kios Kuburan Batu Londa dan Lemo. Yaahh.. sedikit menyesal, harusnya saya langsung beli saja ketika masih disana.
Sambil menunggu sunset di pantai Losari, saya menyempatkan untuk mampir ke Fort Rotterdam. Letaknya persis di depan dermaga yang akan menuju Samalona. Tiket masuknya 10 ribu rupiah. Fort Rotterdam adalah benteng peninggalan kerajaan Gowa dan Tallo pada jaman pemerintahan Sultan Alauddin.
Di dalam kompleks Fort Rotterdam terdapat museum La Galigo yang menyimpan sejarah kebesaran Makassar dan daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Di benteng ini juga dapat dijumpai ruang tahanan Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda.
Macetnya Makassar sama dengan Jakarta. Kebetulan hari ini malem minggu. Jalanan, mal, tempat-tempat wisata ramenya luar biasa. Salah satu tempat keramaian itu adalah pantai Losari. Salah satu objek menarik di pantai ini adalah Masjid Terapung.
Posisi paling pas untuk foto sunset adalah di samping pintu masuk. Atur posisi tripod agar tidak mengganggu pejalan kaki.
Masjid Amirul Mukminin atau biasa yang dikenal dengan Masjid Terapung merupakan masjid yang terletak di teluk Makassar. Arsitekturnya modern dengan balutan warna putih dan abu-abu serta dua menara yang tinggi menjulang. Menjelang sore, banyak masyarakat yang mendatangi pelataran masjid ini. Sekadar menunggu maghrib atau melihat pemandangan matahari terbenam.
Sambil menunggu waktu pulang, tak lengkap rasanya mengunjungi Makassar kalau belum mencicipi Konro. 1 porsi konro bakar dan semangkok sop konro sudah cukup membuat saya terlelap sepanjang perjalanan pulang. Sumpah, enak banget!
2 Responses to “Jelajah Budaya di Tana Toraja”
Pa kabar Di ? tinggal dimana skrg?
mantap lo Di.. udah keliling nusantara
hebat tenan lo Di..
kabar baik masteguh
skrg tinggal dan kerja di BSD
haha.. penginnya sih keliling nusantara. belom kesampean nih ke tempat mas teguh di banjarmasin.