Menari Bersama Lumba Lumba di Teluk Kiluan
Setelah eksplorasi Krakatau yang membawa saya menelusuri salah satu jejak sejarah Gunung Api di Indonesia, saya kembali lagi menuju Lampung, menyambangi sebuah Teluk yang bernama Kiluan. Teluk yang berada di Kecamatan Lumbayan, Kabupaten Tanggamus ini merupakan jalur migrasi lumba-lumba hidung botol (tursiops truncatus).
Berbeda dengan perjalanan saya menuju Krakatau beberapa bulan yang lalu yang hampir membuat saya parno untuk naik kapal laut, perjalanan kali ini cukup menyenangkan, walaupun kami harus sigap mencari tempat duduk atau kami harus berdiri di pinggiran kapal selama perjalanan.
Setibanya di Pelabuhan Bakauheni, kami berisitrahat sejenak sambil menyiapkan diri dan membeli makanan ringan untuk bekal perjalanan menuju Kalibalok, Bandar Lampung. Bus yang saya tumpangi menuju Kalibalok sangat penuh, bahkan sang kondektur harus menyiapkan bangku cadangan diantara bangku penumpang. Saya sendiri duduk di bangku paling belakang. Mungkin lebih tepatnya tempat penyimpanan barang yang letaknya berada di atas bangku belakang. Selama dua jam, saya harus duduk berlipat sambil memangku ransel besar, menahan rasa pegal, lelah dan ngantuk dengan kaca belakang bus sebagai sandaran sepanjang perjalanan. Saking senangnya ketika sampai di Kalibalok membuat saya teledor. Buff/ headware kesayangan yang selalu saya bawa selama traveling tertinggal di bus karena saya gunakan sebagai penyumpal AC yang rusak. Ahhh… National Geographic Buff :'((. Di Kalibalok, tiga mobil APV sudah siap mengantarkan kami menuju Teluk Kiluan, bersiap untuk perjalanan panjang berikutnya.
Pantai Klara
Matahari sedang gagah-gagahnya ketika kami menuju Teluk Kiluan dari Kalibalok. Sepanjang perjalanan dari Bandar Lampung kami disuguhi pemandangan pesisir pantai yang menyejukkan mata. Dari sekian banyak pantai, kami menyambangi salah satu pantai yang indah dengan deretan pohon kelapa, yaitu Pantai Klara. Nama Klara diambil dari kependekan dari Kelapa Rapat, dimana di pantai ini terdapat banyak pohon kelapa yang jaraknya berdekatan. Sedangkan tepat di seberang pantai Klara terdapat pulau Pahawang. Untuk menuju kesana, kami harus menyewa perahu dengan jarak tempuh kurang dari 30 menit. Di pulau Pahawang sendiri terdapat fasilitas bungalau dan rumah penduduk yang bisa disewakan untuk wisatawan.
Setelah melewati daerah yang bernama Padang Cermin, barulah perjalanan kami dihadapkan dengan kondisi jalan yang ekstrim. Sungguh, betapa sulit akses menuju Teluk Kiluan. Kondisi jalan yang rusak, naik turun, lebar jalan yang sempit dan banyaknya tikungan tajam. Tapi disinilah serunya perjalanan kami.
Teluk Kiluan
Matahari hampir tenggelam ketika kami memasuki Desa Tanggamus. Hembusan angin pantai yang dingin seolah memberikan penanda kalau kami sudah tiba di Teluk Kiluan. Dinamakan Teluk karena daerah ini terdapat lautan yang menjorok ke daratan. Teluk yang cukup panjang ini memiliki arus yang tenang dan di sekelilingnya terdapat hamparan hijau pohon kelapa.
Untuk menuju penginapan Lamban Sebathin Cottage yang letaknya berada di seberang, kami harus menaiki perahu yang dikenal dengan nama Jukung. Perahu panjang yang lebarnya cukup pas dengan badan orang dewasa. Kanan kirinya terdapat bambu yang digunakan sebagai penyeimbang perahu. Di belakang perahu terdapat motor berbahan bakar solar dan kemudi untuk menggerakan Jukung. Tingginya laut yang sejajar dengan perahu kami, memberikan sensasi yang luar biasa. Segala lelah hilang tanpa bekas begitu kami memijakan kaki di Teluk Kiluan dan guratan senja yang indah menjadi penutup panjangnya perjalanan kami.
Akomodasi penginapan di Teluk Kiluan sangat terbatas. Teluk Kiluan memiliki beberapa penginapan yang berbentuk rumah panggung. Satu rumah panggung terdiri dari 2 kamar tidur yang bisa diisi 5 sampai 6 orang, 1 ruangan besar untuk berkumpul, ruangan dapur dan 2 kamar mandi yang terletak di bawah. Cukup untuk rombongan kami yang berjumlah 21 orang, walaupun harus ada yang rela untuk tidur di ruangan tengah dengan beralaskan tikar. Pekarangannya sangat luas dan terdapat gazebo besar sebagai tempat ngumpul-ngumpul yang letaknya tidak jauh dari pantai.
Seperti biasa, apa sih yang dicari oleh teman-teman ketika sampai di penginapan selain colokan listrik. Yup… semua saling bergegas dan berebut untuk bisa mengisi ulang baterai gadget masing-masing. Saking banyaknya daya yang digunakan, rumah panggung yang sumber listriknya masih menggunakan generator ini tiba-tiba saja mati. Barulah dari situ kami sadar, kalau kami harus bergantian. Tapi percuma juga, karena di Teluk Kiluan tidak ada sinyal telekomunikasi selular. Hahaha.
Lumba Lumba, Daya Tarik Teluk Kiluan
Jam 6 pagi kami sudah bersiap di tepi pantai. Jukung pun sudah berbaris rapih dengan juru kemudi masing-masing. Perasaan mulai campur aduk, antara senang dan khawatir. Semua berdoa, semoga saja kami bisa melihat mamalia air sahabat manusia ini. Waktu yang tepat untuk bisa melihat lumba lumba sangat terbatas. Konon, lumba-lumba hanya muncul di pagi hari ketika mereka sedang bermigrasi, yaitu sekitar jam 6 hingga jam 9 pagi.
Satu per satu Jukung mulai meninggalkan pantai. Untuk Anda yang takut dengan air tidak perlu khawatir. Masing-masing Jukung sudah dilengkapi dengan Life Vest atau pelampung. Sedihnya, hanya jukung saya yang tidak ada pelampungnya. Perjalanan mendebarkan dengan ombak Samudra Hindia yang cukup tinggi membuat saya enggan mengeluarkan kamera dari tas. Ombak membentang di atas kami dengan ketinggian hingga satu meter. Kelihaian juru kemudi memang sangat diandalkan. Tak sedikit jukung yang terbalik karena terhempas ombak atau juru kemudi yang salah mengendalikan jukung.
Hampir 30 menit, tidak ada tanda-tanda kemunculan lumba-lumba. Jukung terus kami arahkan ke tengah lautan menjauhi teluk. Rasa cemas mulai muncul dan Jukung mulai berhenti, menunggu mamalia air ini muncul sambil membiarkan diri kami terombang ambing oleh ombak. Saya mulai menggerutu.. “Duh, kok nggak ada yah lumba-lumbanya”.
Tiba-tiba sekelebatan berwarna hitam muncul di antara jukung dan bambu penyeimbang. Satu lumba lumba besar melesat begitu cepat. Saya langsung berteriak kepada juru kemudi untuk mengejar lumba-lumba itu. Di tengah perburuan, muncul sekawanan lumba-lumba meloncat tepat di depan kami. “Yuhuuuu!”. Mereka memutar dan meloncat di udara sambil mengeluarkan suara khasnya. Terpana dengan atraksi mereka, saya sampai lupa mengabadikan beberapa momen dari atas Jukung. Agak sulit mengambil gambar dari atas Jukung, selain ombak yang cukup besar, datangnya kawanan lumba lumba pun sulit untuk ditebak.
Puas rasanya bisa melihat pertunjukan alam yang sangat luar biasa selama lebih dari 30 menit. Sekawanan lumba-lumba liar tidak pernah merasa takut dengan kehadiran kami. Seakan mereka ingin menyapa kami dan memberitahu keberadaan mereka “Haaai… ini kami!”
Sensasi menaiki Jukung menjadi kesenangan tersendiri bagi saya. Walaupun rasa cemas itu masih ada setelah melihat salah satu Jukung ada yang terbalik ketika perburuan lumba-lumba di pagi hari. Tapi, saya ingin sekali mengelilingi Teluk ini. Ah syukurlah, keinginan saya terkabul. Sore hari kami kembali menaiki Jukung dan mengelilingi Teluk Kiluan sambil menikmati indahnya senja. Kali ini saya mulai terbiasa dengan ombak besar sambil tangan terus berpegang pada sisi jukung. Hahaha.
Snorkeling
Pantai memang selalu menjadi daya tarik untuk berburu foto. Disini, kami tidak hanya dapat merekam keindahan Pulau Kelapa, namun juga keindahan bawah laut Teluk Kiluan. Pemandu mengarahkan kami menuju spot terbaik untuk menikmati keindahan bawah laut. Terumbu karang yang berwarna warni ditambah ikan yang beraneka ragam membuat kami betah untuk berlama-lama disini. Bersama wisatawan lain, kami berbaur menjadi satu ber-snorkeling ria. Di pantai ini, sesi Narcisisus Acutus kami habiskan hingga matahari tepat berada di atas kepala kami.
Menjelang senja, Saya dan Cendy menuju ke seberang teluk untuk membeli ikan dan beberapa makanan yang akan kami gunakan untuk santap malam. Setibanya disini, saya terheran dengan banyaknya rumah yang berarsitektur gaya Bali dan terdapat banyak Pura, tempat ibadah umat Hindu. Selidik punya selidik, ternyata hampir semua penduduk di Teluk Kiluan merupakan warga pendatang dari Bali. Saking penasaran, saya mencoba memasuki jalan-jalan kecil yang mengarah ke perkampungan. Di belakangnya terdapat beberapa rumah-rumah besar yang masih dalam tahap pembangunan dan tentu saja semua bangunan itu berarsitektur gaya Bali. Teluk Kiluan tidak hanya terkenal dengan lumba-lumbanya. Anda juga bisa mengunjungi perkampungan Bali dengan arsitektur khasnya yang layak dilestarikan.
Makan malam memang selalu menjadi ajang perkenalan yang tepat di setiap perjalanan. Suasana yang santai sambil bersenda gurau mampu mencairkan kekakuan dan berganti menjadi keakraban. Bahkan kami sempat mengerjai salah satu teman yang berulang tahun. Ada pepatah yang mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Mungkin pepatah itu sering terdengar di telinga kita, tapi itulah momen yang selalu ditunggu tunggu, menyebut sebuah nama satu per satu. Sebuah konfirmasi dan afirmasi, bahwa kita melakukan perjalanan tidak sendiri, Inilah bonus dari sebuah perjalanan, yaitu pertemanan.
The Traveler
Perjalanan pulang kami sempatkan mampir di Bandar Lampung untuk membeli buah tangan. Beberapa makanan khas daerah Lampung seperti keripik pisang kepok aneka rasa, kerupuk ikan, terasi dan kopi lampung yang khas menjadi oleh-oleh yang wajib kami beli.
Keberuntungan sedang berada di pihak kami dalam perjalanan pulang. Dengan tiket Ekonomi, kami bisa menaiki kapal cepat untuk kelas Eksekutif tanpa harus membayar tiket tambahan karena kapal yang akan menuju pelabuhan Merak sedang sedikit. Ah, tanpa ragu, kegilaan kami teruskan sambil berkaraoke ria di atas kapal. Hahaha…
Di tengah perjalanan, saya bergumam dalam hati, suatu saat saya akan kembali lagi ke Teluk Kiluan. Keindahan pantai, sore yang luar biasa bagi para penikmat senja dan tarian lumba-lumba menjadikan Teluk Kiluan sebagai salah satu tujuan wajib untuk dikunjungi.
Leave a Reply