Lamaran Keluarga
Setelah acara lamaran pribadi beberapa bulan yang lalu, akhirnya kedua belah pihak keluarga menginginkan adanya lamaran keluarga secara resmi. Resmi disini berarti keluarga laki-laki mengunjungi keluarga perempuan dan menyatakan maksud kedatangan keluarga laki-laki untuk melamar sang pujaan hati dari keluarga perempuan. Ya begitulah kira-kira kemauan orangtua.
Awalnya, mau dibikin sederhana saja. Cukup keluarga inti di rumah mengunjungi keluarga perempuan. Acara makan siang sederhana, pagi sore ataupun siang malam. Cukup itu saja. Ternyata seiring diskusi sana-sini akhirnya “project scope” menjadi melebar karena “requirements” dari beberapa “user” yang terus bertambah. Hasil akhirnya bisa ketebak, “Not on Budget”.
Saya dan pacar sudah memutuskan, biaya lamaran sampai dengan perkawinan adalah biaya dari kami berdua. Kami hanya menginginkan restu dari orang tua dan kehadiran dari keluarga.
Keluarga di rumah maunya semua saudara yang ada di Bogor datang. Bahkan Babeh sudah meminta salah satu Om menjadi perwakilan keluarga ketika berkunjung ke keluarga perempuan. Sedangkan keluarga pacar yang keluarganya besaaaar banget sudah pasti akan datang semua dan diminta ada acara yang disusun dengan baik dan rapih. Gara-gara “requirement user” dan “stakeholder” yang bertambah tadi akhirnya bikin kami pusing.
Keluarga pacar berasal dari keluarga yang sangat menjunjung norma dan adat istiadat jawa, sesuai tradisi priyayi Ngayogyakarta Hadiningrat. Jadi, saya dan pacar berusaha untuk menjelaskan kepada keluarga bahwa persiapan yang kami lakukan untuk menuju perkawinan adalah dengan cara kami. Bukan berarti kami menolak tradisi yang baik yaa, bukan! Leganya semua bisa diajak diskusi dan menyerahkan ke kami berdua maunya seperti apa.
Akhirnya rencana makan siang sederhana di rumah pacar pupus sudah. Berganti jadi makan siang di gedung pertemuan supaya bisa menampung orang lebih banyak.
Seperti kebanyakan acara lamaran pada umumnya. Keluarga laki-laki datang dan menjelaskan maksud kedatangan. Kemudian dilanjutkan dengan jawaban dari keluarga perempuan.
Di tengah acara, ada salah satu hal yang menarik. Pakde Kotjo, perwakilan dari keluarga perempuan, bertanya kepada saya, “Apakah Adi sudah bahagia?”, saya jawab “Iya, saya pribadi sudah bahagia, dan saya ingin berbagi kebahagiaan dengan istri saya nantinya”. Ternyata jawaban saya dijadikan bahan perenungan oleh Pakde Kotjo waktu itu.
Bagi banyak orang, menikah adalah hal yang membahagiakan. Tentunya orang ingin menikah dengan orang yang dicintai, tanpa paksaan dari siapapun. Namun kenyataannya, banyak orang menikah tanpa cinta, karena terpaksa, dan tanpa komitmen untuk saling bersama. Bagi orang yang menikah supaya bahagia, ujungnya adalah tidak mendapat kebahagiaan karena diawali oleh orang-orang yang mencari kebahagiaan bukan orang yang ingin berbagi dan menciptakan kebahagiaan.
Begitu juga dengan pertanyaan “Kenal dimana?”, “Sudah berapa lama pacaran?”. Lagi-lagi pertanyaan seperti ini membawa saya untuk berpikir logis ke diri sendiri “Apakah perempuan yang akan saya nikahi nantinya adalah orang yang tepat”. Sambil diselingi candaan “Mumpung belum nikah loh, Di?” Hahaha.
Saya percaya, waktu adalah materi alamiah untuk menguji kualitas hubungan, dan acara lamaran berjalan dengan lancar.
Leave a Reply