Jelajah Gunung Api di Selat Sunda
Semakin lama angin bertiup semakin kencang. Suara sirine terdengar kencang di udara, tanda akan berangkat. Jaket dan headware mulai saya kenakan. Satu bungkus tolak angin yang saya tenggak satu jam sebelumnya tidak membawa efek apa-apa. Selama 2 jam, saya hanya bisa duduk meringkuk berselimut angin malam.
Ini adalah kali pertama saya menggunakan moda transportasi kapal laut. Yaa… walaupun sedikit agak ndeso tapi cukup menyenangkan. Kapal yang saya tumpangi saat itu terlihat cukup penuh. Ruang untuk tempat tidur tidak menyisakan tempat sedikitpun. Pikiran saya yang tadinya bisa beristirahat di ruang penumpang layaknya kelas bisnis, ternyata saya hanya bisa duduk-duduk di atas geladak. Sesekali saya turun ke dek melihat beberapa kendaraan yang terparkir dan jalan-jalan memutari kapal untuk membunuh rasa bosan.
Entah kenapa, pengalaman pertama menyeberangi selat sunda ini harus saya lalui di malam hari. Cerita Bapak dan Ibu tentang indahnya naik kapal laut, ternyata berbeda dengan yang saya alami. Apa mereka naik kelas eksekutif, sedangkan saya naik kelas ekonomi. Apa mereka berangkat di pagi hari dengan hangatnya sinar matahari dan indahnya pemandangan laut, sedangkan saya… hanya melihat gelapnya laut dan kerlap-kerlip cahaya dari kejauhan.
Perkenalan saya dengan Cendy ketika mengunjungi Sawarna benar-benar membuat saya termotivasi untuk terus menjelajahi indahnya Indonesia. Terasa sulit rasanya menolak ajakan singkat Cendy, “Do, ikut yuk ke anak Gunung Krakatau?!” Apalagi ajakan itu menjelajahi sebuah gunung api yang memiliki sejarah masa lalu yang kuat. Saya lalu mengajak teman kantor saya, Tissa, yang juga memiliki kecintaan terhadap gunung. Akhirnya, bersama 22 teman dari Backpacker Indonesia (BPI) saya kembali memulai perjalanan.
Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, perjalanan kami lanjutkan menuju dermaga Canti menggunakan angkutan kota yang sudah kami pesan sebelumnya. Dermaga yang terletak di Kecamatan Kalianda ini merupakan dermaga yang digunakan penduduk untuk menyeberang menuju Pulau Sebuku dan Pulau Sebesi. Disini kami beristirahat sejenak, sambil menunggu matahari terbit dan kapal yang mengantar kami ke Pulau Sebesi, tempat kami menginap.
Ada salah satu peserta yang menarik perhatian saya, namanya Robert. Pria paruh baya asal Belanda ini merupakan satu-satunya turis asing dalam perjalanan kami. Robert bercerita kepada saya dan Tissa, selain mengunjungi sepupunya yang tinggal di Sukabumi, Robert juga merencanakan perjalanan keliling Indonesia. Salah satunya mengunjungi anak gunung Krakatau.
Semburat kuning mulai terlihat di ufuk timur. Perlahan lahan kapal mulai meninggalkan dermaga Canti. Jangan membayangkan kami menaiki sebuah kapal bagus dan besar. Bisa dibilang ini adalah sebuah perahu kayu yang cukup besar. Mampu menampung sekitar 20 orang yang terdiri dari 2 tingkat. Penumpang bisa memilih untuk berada di bawah kapal atau di luar kapal. Saya dan Tissa memilih berada di ujung depan kapal sambil menikmati semilir angin dan pemandangan laut di pagi hari. Angin yang tidak terlalu besar di pagi hari, membuat kapal melintas tanpa perasaan was-was diterpa ombak besar.
Pulau Sebesi dan Anak Gunung Krakatau
Pulau Sebesi merupakan pulau berpenghuni yang terdekat dari anak Gunung Krakatau. Pulau ini letaknya berada di sebelah selatan dari Pulau Sebuku dan timur pulau Serdang dan pulau Legundi. Penginapan kami pun seadanya. Terdapat tiga rumah yang memisahkan peserta laki-laki dan perempuan, dimana tiap rumah memiliki 3 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Listrik dan air hanya ada mulai jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Itu pun harus dengan bantuan generator. Sinyal telekomunikasi selular hanya ada XL dan Telkomsel, walaupun terkadang timbul tenggelam.
Setelah menaruh barang bawaan di penginapan, kami langsung menuju ke anak Gunung Krakatau. Sama seperti perjalanan dari dermaga Canti ke pulau Sebesi, perjalanan menuju anak Gunung Krakatau kami tempuh selama 1,5 jam. Demi menghemat waktu, sampai-sampai kami harus sarapan pagi di atas kapal. Hahaha. Kawasan Kepulauan Krakatau terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil yaitu Pulau Krakatau Besar (Rakata), Pulau Krakatau Kecil (Panjang), Pulau Sertung dan Pulau Anak Krakatau. Pulau-pulau tersebut merupakan hasil dari Gunung Krakatau yang sirna karena letusannnya sendiri pada tanggal 26-27 Agustus 1883. Dunia dibuat gelap selama 2 hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfir. Kawasan yang menjadi Cagar Alam sejak tahun 1991 ini memiliki luas sekitar 2400 hektar.
Kami beruntung, anak Gunung Krakatau hari itu dalam kondisi aman sehingga kami bisa mendaki walaupun ijin pendakian hanya sampai sebatas lereng . Kata salah satu seorang Ranger yang menemani kami tracking, sehari sebelumnya anak Gunung Krakatau menyemburkan batuan kerikil dan Cagar Alam ditutup sampai kondisi dinyatakan aman untuk pendakian.
Sejauh mata memandang, hanya terlihat pasir vulkanik berwarna hitam bercampur kerikil. Walaupun tempat yang dituju sekitar 230 meter di atas permukaan laut, tetapi membutuhkan energi yang besar untuk bisa sampai di lereng. Perjalanan berat kami terbayar ketika sampai di lereng anak Gunung Krakatau. Pemandangan menakjubkan melihat pulau Rakata dan pulau Krakatau Kecil di tengah lautan yang terlihat begitu biru. Di tepian lereng tampak hamparan belerang berwarna kuning dengan kepulan asap.
Teriknya matahari tidak menghalangi kami untuk terus menjelajahi kepulauan Krakatau. Tempat berikutnya adalah Pulau Laguna Cabe. Pantai di sekitar pulau yang tidak bisa kami singgahi ini merupakan spot terbaik untuk menikmati pemandangan bawah laut. Pantainya sangat kaya akan terumbu karang dan ikan laut.
Pulau Sebuku Kecil dan Umang Umang
Bangun jam 7 pagi jelas bukan waktu yang pas untuk melihat sunrise, tapi lebih tepat melihat sarapan. Heuheuheu. Pagi ini kami akan menuju ke Pulau Sebuku Kecil dan Pulau Umang-Umang.
Awan hitam bergelayut di atas dermaga Pulau Sebesi. Walaupun cuaca mendung di pagi dan siang hari, tapi kami tidak mendapati hujan hingga hari ini. Jangkar mulai dinaikkan dan kapal mulai membelah ombak yang cukup besar. Kali ini saya duduk di dalam ruang kemudi bersama Nahkoda. Dari balik jendela kapal saya bisa melihat hamparan pulau-pulau disekitar pulau Sebesi, sambil diiringi alunan musik dangdut koplo yang suaranya beradu dengan suara mesin kapal. Beberapa kali kapal kami berguncang karena diterpa ombak yang cukup besar. Wuhuuu…
Dari kejauhan, panti Sebuku Kecil sangat indah dengan gradasi warna hijau dan biru. Setelah mendekat ke pantai, anak buah kapal mulai melemparkan jangkar dan kami pun langsung melompat ke pantai. Sepanjang pantai berserakan pecahan karang bekas pasang naik air laut. Cukup membuat sakit jika berjalan tanpa alas kaki.
Pulau Umang-Umang menjadi tempat terakhir penjelajahan kami. Pulau yang dekat dengan pulau Sebesi ini merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Pantainya sangat indah dengan balutan pasir putih dan beberapa beberapa batu karang besar. Perairannya relatif lebih dangkal dibandingkan dengan Laguna Cabe dan yang pasti tidak ada bulu babi, binatang yang paling dibenci penikmat snorkeling.
Sepulang menjelajahi pulau Umang-Umang, Robert membelikan kami dua buah lobster besar dari seorang nelayan seharga satu juta rupiah. Bagi beberapa teman, satu juta rupiah bisa dibilang harga yang cukup mahal untuk dua buah lobster. Tapi tidak untuk Robert, selama dia ada uang, dia mampu, dan semua senang, satu juta rupiah tidak begitu mahal bagi Robert. Just simple like that. Makan siang yang luar biasa dan Robert hanya menyaksikan kegembiraan kami karena ketakutan Robert akan kolesterol. Hahaha…
The Traveler
Ketika perjalanan pulang menuju pulau Sebesi, tiba-tiba kami teringat kalau rombongan kami kurang 1 orang. Heh?? Untungnya di penginapan, seorang teman berhasil dihubungi kalau teman kami yang tertinggal itu masih berada di pulau Sebuku Kecil. Akhirnya, perjalanan dari penginapan menuju Dermaga Canti harus mampir terlebih dahulu ke pulau Sebuku Kecil. Haha.. setiap perjalanan selalu memiliki cerita tersendiri.
Sesampainya di pelabuhan Bakauheni, lagi-lagi kami harus duduk di geladak. Di bawah semburat senja, kami bergurau bersama sambil melihat hasil jepretan, saling bertukar nomor handphone dan pin BB, dan yang pasti… habis ini mau kemana?
5 Responses to “Jelajah Gunung Api di Selat Sunda”
Dan disini, di trip ini kita bertemu. Di bawah naungan 1 yayasan –> “cendy adventure”
Semoga plan jalan2 tahun ini lancar ya, masbro.
Keep posting
Cendy Adventure, Dream Explore Discover
Amiin brad.
Jalan Jalan Lagi Lagi Terus Terusss :p
[…] dengan perjalanan saya menuju Krakatau beberapa bulan yang lalu yang hampir membuat saya parno untuk naik kapal laut, perjalanan kali ini […]
Blogwalking ttg backpacker eh nemu webnya Mas vlado. kayaknya tau juga tu siapa yg lost in sebuku haha..
keep posting !!