Cerita Pendek Tentang Cinta
Kalau ditanya sama teman, sohib, ataupun keluarga “ketemu jodoh dimana?”, kami kompak menjawab “ketemu di hutan”. 5 tahun yang lalu, Hutan Pinus di daerah Sukabumi adalah tempat yang paling bersejarah untuk kami berdua. Walaupun circle kami adalah traveler atau backpacker, kami belum pernah mengenal sebelumnya. Ada sih beberapa kenalan backpacker yang sekaligus teman kami berdua. Tapi, dari sekian banyak jalan-jalan yang kami lalui, ini adalah perjumpaan pertama kami.
We Are Getting Closer
Waktu berjalan begitu cepat. Hari-hari masih diisi dengan bekerja, hunting foto, backpacker-an, dan lektor. Tiba-tiba seorang teman, namanya Budi, memberitahu saya kalau ada yang nanyain dia “kapan ke papandayan”. “Siapa bud?”, tanya saya. “Itu loh mas, yang kemaren nempel sama lo karena pengin dipoto terus”. “Ohh..”
Budi cerita, banyak banget yang ngajakin dia ke Gunung Papandayan loh. Tetapi Budi selalu melemparkannya ke saya “Terserah mas vlado aja, kalau mas vlado bilang iya, gue berangkat”, mantab banget jawaban Budi.
Dari obrolan kapan ke papandayan, kami mulai ketemuan. Sepulang kantor, kami sering jalan untuk sekadar makan malam, cerita perjalanan, nonton ke bioskop, atau bikin short trip ke beberapa tempat seru sambil mengajak sahabat kami masing-masing.
Dieng
Kangennya saya dengan Dieng dan Mas Dwi (Travel Guidenya Bu Djono), membawa dia masuk ke dalam perjalanan saya. Perjalanan-perjalanan yang sering saya nikmati sendiri(an), mengabadikan landscape sambil berkontemplasi, kali ini harus saya bagi.
Sahabat saya, Andi, bertanya “yakin lo mo ngajak dia, nemenin lo jalan-jalan, nemenin lo foto, nemenin lo kulineran, ehh ntar tiba-tiba nemenin hidup lo?”
Di tengah batu dieng, spot sejuta umat yang fenomenal itu, saya berani memutuskan.
Tidak ada pengakuan dan penyerahan autoritas seorang cowok ke cewek dengan tembak-tembakan. Kalo kata anak milenial jaman sekarang, tembak-tembakan itu so last year.
Next Adventures
Apa jadinya kalau ada dua orang penggila jalan-jalan jadi satu? Tidak ada cerita lain dalam kehidupan kami selain jalan-jalan ke tempat baru dan mengumpulkan banyak foto, foto, foto, sampai akhirnya jadi duit karena banyak juga yang beli foto hasil upload di flickr. Senang, seru, marah, kesel, sedih, banyak duit, sampe duit abis buat jalan-jalan kami hadapi bersama-sama.
Ada saat-saat dimana kami berada di persimpangan jalan, lelah, marah, kecewa, tidak berdaya, kehilangan harapan, dan ingin menyerah dari perjalanan ini. Tapi kami selalu menemukan kekuatan dari semua kelemahan dan ketakutan yang kami hadapi. Kami berusaha untuk saling menguatkan.
We Got Engaged
Kami sama-sama punya mimpi yang ingin kami kejar. Kami sadar, kami bisa melakukan apapun sendiri dengan cepat, tapi kami tidak cukup kuat untuk mempertahankan mimpi itu. Hanya satu cara supaya mimpi-mimpi itu bisa kami wujudkan, yaitu berjalan bersama.
Dengan penuh keberanian mulai dari membeli cincin hasil bonus akhir tahun sampai harus bilang “Will you marry me?”, akhirnya kami resmi bertunangan. Keputusan gila untuk seseorang yang gak pernah mikir mau kawin.
We Planned Our Next Adventures
Bagi kami, perkawinan bukan hanya menyatukan sepasang kekasih dengan legal baik agama maupun negara, terus punya rumah, punya anak, dan menjalani kehidupan keluarga pada umumnya.
Saya ingin menikah karena saya ingin berbagi kebahagiaan dan perjalanan dengan orang yang saya cintai. Kata-kata “memilihmu” di depan altar adalah komitmen sekaligus janji di hadapan Tuhan. Apa yang dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Mungkin ketika kami perlahan-lahan mulai bosan dan kehilangan cinta, kami masih ingat akan komitmen untuk terus bersama dan saling menguatkan, hingga maut memisahkan.
Ya, kira-kira begitulah gimana ceritanya dari kenal sampai akhirnya mau memutuskan untuk membagi kebahagiaan dengan orang lain. Sampai sekarang pun masih senyum-senyum dan ngebayangin, kalo pertemuan di hutan pinus itu tidak terjadi, apakah dia masih jodoh saya?
Leave a Reply