Bernostalgia ke Gunung Gede
Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya, ada pesan nostalgia di dalamnya. Sebuah rasa rindu yang menggebu-gebu dari dalam jiwa yang membuat hari-hari kami terasa begitu cepat. Sedikit demi sedikit, rasa tidak sabar itu mulai sirna ketika perjalanan akan dimulai.
Setelah pulang dari Air Terjun Cibeureum dua bulan yang lalu, terbesit di pikiran saya untuk kembali lagi ke sini. Tapi tidak ke Air Terjun, melainkan mendaki ke Gunung Gede. Hmm.. rasanya sudah lama sekali saya tidak lagi ke Gede. Rencana itu pun akhirnya saya lemparkan ke Rhea dan Tissa sepulang dari Cicatih, dan mereka sangat antusias sambil bercerita mengenai kenangan terakhir mereka ke Gede. Yes, toss dulu ahhh!
Segala persiapan pun kami lakukan. Mulai dari pemilihan hari keberangkatan, ijin cuti ke atasan kami masing-masing sampai pembelian perlengkapan pendakian. Saking lamanya kami tidak mendaki, barang-barang yang dipinjam oleh beberapa teman sampai sekarang tidak ada satupun yang kembali. Tak apalah, mungkin sudah menjadi hak milik. Beruntung, toko perlengkapan outdoor yang terletak di jalan raya Ciledug sedang ada diskon 50%. Saya dan Rhea tidak melewatkan kesempatan emas ini begitu saja. Saya memilih Deuter Futura 32 dan Rhea memilih Deuter Futura 24, sleeping bag, sepatu dan ditambah beberapa printilan. Sedangkan Tissa lebih memilih meminjam ke teman-teman Mapala di kampusnya. Untuk logistik, kami menyempatkan diri berbelanja di supermarket sepulang kantor, seperti kentang goreng, mie instan, spaghetti, sarden, chicken nugget, buah-buahan dan beberapa cemilan. Semuanya sudah lengkap, saatnya berangkaaat.
Gelap dan dinginnya pagi mulai menyapa. Semburat tipis kemerahan mulai menyeruak dari ufuk timur. Diawali dengan sebuah doa, kami pun bersiap memulai perjalanan panjang hari ini. Di tengah perjalanan menuju Kampung Rambutan, kami menjemput satu orang lagi yang akan menemani kami selama perjalanan. Agak sulit rasanya, kalo kami harus berangkat bertiga tanpa pendaki senior yang berpengalaman. Teman kami itu bernama Eko.
Tepat pukul 07.00, bus Warga Baru Ekonomi keluar dari terminal dan itu satu-satunya bus yang kami lihat begitu kami turun dari taksi. Tadinya kami akan menggunakan bus AC, tapi mengingat waktu yang akan terbuang begitu saja karena jeda waktu bus berikutnya yang cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk menaiki bus yang berangkat terlebih dahulu. Wuaaahh.. sepertinya kami kurang beruntung menaiki bus ini, angin yang bertiup kencang dari jendela pintu, ditambah asap knalpot yang sepertinya bocor di bagian belakang. Ahh.. sudahlah, dibawa tidur saja, paling juga masuk angin. Hahaha.
Pukul 09.30, akhirnya kami terlepas juga dari ‘siksaan’. Angkot kuning mulai membawa kami dari pertigaan Cibodas menuju Kebun Raya Cibodas di tengah rasa kantuk dan lemas yang masih menderu. Sesampainya disana, kami langsung menuju kantor Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) untuk mengurus surat ijin pendakian. Tissa yang mengurus surat pendakian sedikit mengalami masalah karena bukti transfer kami tidak ada. Bukti transfer itu hilang di kantor, tercecer dengan kertas-kertas dan sepertinya terbuang ke tempat sampah. Benar-benar kecerobohan yang menjengkelkan, karena kami harus beradu argumen hanya untuk membuktikan kalo kami sudah membayar biaya pendakian TNGP. Satu jam kami habiskan hanya untuk menunggu surat ijin pendakian. Suara perut semakin melengking dan memaksa kami menuju tempat makan yang letaknya berada di belakang jalan Cibodas. Saya dan Rhea memesan nasi rames, sedangkan Tissa dan Eko memesan Nasi Goreng.
Tepat pukul 12.30, perjalanan menuju puncak Gede pun dimulai. Dengan langkah perlahan tapi pasti, kami mulai meniti satu per satu undakan berbatu. Sesekali kami beristirahat sambil melepas dahaga dan memakan cemilan. Pendakian menuju puncak Gede yang kami rencanakan ini benar-benar tanpa target waktu. Kami berempat hanya ingin menikmati pemandangan, menikmati makanan yang kami bawa, menikmati kenangan-kenangan dulu, mengambil gambar sebanyak mungkin dan menikmati perjalanan. Kata Tissa, kami ini tidak sedang mendaki, tapi piknik. Entah kapan kami bisa berada di atas sana. Hahaha.
Tissa yang menganggap pendakian ini sebagai piknik dan beratnya tas yang dibawa mulai sedikit mempengaruhi irama perjalanan kami. Seharusnya kami terus melakukan pendakian, tapi Tissa mendadak berhenti… membuka daypack dan mengeluarkan beberapa makanan. Huahaha.. kacau. Bahkan di shelter Payangcangan, kami menyempatkan untuk makan nasi goreng dan memasak Spaghetti.
45 menit kami habiskan di shelter Payangcangan sampai udara dingin benar-benar terasa di kulit kami. Kami mulai berkemas kembali dan meninggalkan shelter Payangcangan sebelum gelap. Perjalanan mulai agak terjal dan sulit, banyak batu-batu dan akar pohon yang menghalangi di jalur pendakian. Pendakian benar-benar menghabiskan cukup banyak tenaga dan memaksa kami beristirahat setiap 20 menit. Sinar matahari sore yang jatuh di antara dedaunan pohon semakin lama semakin meredup. Kami pun mulai menyiapkan peralatan penerangan seperti senter dan lampu kepala.
Waktu menunjukkan pukul 19.00, kami beristirahat kembali sambil membuat mie instan dan teh manis. Tadinya kami mengira jam segini kami bisa berada di shelter Kandang Batu atau Kandang Badak, tapi itu masih jauh sekali dari tempat kami sekarang berada.
Menyusuri undakan-undakan batu yang terjal di tengah kegelapan memang membutuhkan konsentrasi dan stamina yang tinggi. Terkadang rasa lelah mulai sedikit menyurutkan mental kami. Saya, Tissa, Rhea dan Eko tidak henti-hentinya saling menyemangati. Beberapa kali kami mencoba untuk berbarengan dengan rombongan lain, supaya lebih rame dan bisa menjaga irama perjalanan. Tapi sekuat apapun kami berusaha, rasa lelah terkadang lebih mudah mengalahkan semangat. Tissa yang mulai melemah, membuat kami berjalan agak pelan dan ekstra hati-hati terhadap keadaan. Setelah melewati Air Panas, akhirnya kami tiba di shelter Kandang Batu dan tiba-tiba Tissa memutuskan untuk mengakhiri pendakian dan melanjutkan kembali keesokan harinya. Sedangkan saya dan Rhea bersikeras untuk melanjutkan perjalanan hingga shelter Kandang Badak. “Keributan” kecil pun terjadi di antara kami. Kami terdiam sejenak, menenangkan pikirian dan akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di Kandang Batu. Saya dan Rhea sedikit kecewa, tapi saya bisa memahami argumen Tissa yang tidak memungkinkan kami untuk bisa lanjut ke Kandang Badak.
Setelah kami mendirikan tenda, Tissa dengan sigapnya langsung membuatkan sayur asem dan kentang goreng untukĀ makan malam kami. Obrolan santai sambil menikmati makan malam bersama berhasil menghilangkan ketegangan di antara kami. Wajah kecewa Rhea perlahan mulai memudar di tengah dinginnya malam. It’s time to take a rest …
Dinginnya malam membuat saya beberapa kali terjaga sambil berharap pagi datang dengan cepat. Bahu dan kaki masih sedikit terasa pegal. Jam 6 pagi, Tissa mulai menyiapkan sarapan pagi. Sedangkan saya, Rhea dan Eko mencari air untuk persiapan perjalanan berikutnya. Di tengah kesibukan kami masing-masing, datanglah “bala bantuan” yaitu Yudi dan Abdul, yang berhasil kami hubungi sebelum mulai pendakian ke Gede. Syukurlah, dengan kedatangan mereka, setidaknya bisa meringankan beban kami berempat. Tas daypack kecil yang Yudi bawa dibawa oleh Tissa, sedangkan tas perbekalan yang berisi makanan dibawa oleh Yudi. Inti dari kedatangan mereka berdua hanya satu, membawa tas besar kami. Hahaha.
Waktu menunjukkan pukul 09.30, tenda dan perlengkapan sudah kami masukkan ke tas masing-masing. Kali ini kami harus terus mendaki hingga sampai ke puncak, jadi sore harinya kami bisa menginap di alun-alun Suryakencana. Selepas Kandang Batu, pendakian mulai sedikit agak terjal. Sedikit demi sedikit, kami melewati Kandang Badak, persimpangan antara Gede dan Pangrango, sampai kami masuk ke dalam hutan dan akhirnya bertemu.. “Waaaaah… akhirnya Tanjakan Setan!” Saya, Rhea dan Eko begitu bersemangat mendaki Tanjakan Setan. Sedangkan Rhea, Yudi dan Abdul mengambil jalur lain untuk sampai ke atas.
Matahari berada tepat di atas kepala, rindangnya pepohonan tak mampu menutup cuaca panas yang kami hadapi. Perlahan-lahan, aroma belerang mulai tercium. “Woii.. sedikit lagi, belerengnya udah mulai kecium”, teriak Rhea yang sepertinya sudah berada jauh di depan saya. Langkah kaki mulai saya percepat, setelah melewati semak-semak terakhir dan jalur pendakian mulai berpasir, akhirnya “Phiuuuh…. akhirnya sampai juga”. Gak nyangka, kita bisa sampai di puncak Gede selama ini, 24 Jam! Hahaha.
Sambil menyusuri tanah berpasir, kami terus melangkahkan kaki kami hingga benar-benar berada di puncak. Wow, sungguh pemandangan yang luar biasa. Dari atas sini kami bisa melihat Gunung Pangrango yang dikelilingi awan dan melihat luasnya alun-alun Suryakencana. Tenda-tenda pendaki yang berjajar tampak begitu kecil dari atas sini.
Setelah puas berada di puncak, kami harus menuruni bukit menuju Suryakencana karena ditempat itu kami bisa bermalam. Bagi kebanyakan pendaki, Suryakencana sudah menjadi rumah kedua mereka. Padang rumput yang luas terbentang dengan hamparan bunga abadi edelweiss yang dikelilingi oleh bukit-bukit yang menjulang. Di tengah kesunyian dan dinginnya malam, kami bisa melihat hamparan bintang-bintang di atas cakrawala. Perjalanan panjang yang memakan waktu lebih dari 24 jam, akhirnya terbayar sudah.
Rute Gunung Putri menjadi pilihan kami untuk perjalanan pulang. Berbeda dengan waktu yang harus kami habiskan ketika pendakian, waktu tempuh yang kami habiskan untuk menuju Cipanas hanya 5 jam saja.
One Response to “Bernostalgia ke Gunung Gede”
It should be fun to buy a new car! Driving a new car is such a great experience, and purchasing the car should be fun as well.
A lot of people would rather skip the whole purchasing process.
Keep the stress to a minimum using these tips.