Mengintip Pantai Tersembunyi di Pacitan
“Bro, seminggu yang lalu gue baru pulang dari Pracimantoro, gue punya oleh-oleh nih buat elo”, kata Andi. Wah, siapa yang nggak seneng kalo dibawain oleh-oleh. Terbayang-bayang serabi solo gulung dengan parutan keju di atasnya. Tapi sial, oleh-oleh yang dimaksud adalah foto-foto pantai di selatan Pacitan. Andi mulai bercerita pengalaman dia menyusuri hutan jati sambil menunjukkan putihnya pasir pantai yang berpadu dengan birunya laut dan langit, di sisi kiri dan kanannya menjulang tinggi tebing-tebing karst berwarna hitam. Okay fine… racun baru!
Di tempat lain, sohib saya yang satu lagi, Adri baru saja selesai hunting sendirian di tengah kota. Katanya sih abis moto kota Jakarta dari ketinggian. “Uhh.. egoisnya!”. Adri mendadak mengajak saya makan lontong padang di depan Pasar Grosir Cililitan (PGC). Lontong padang disitu terbilang sangat enak dan cukup terkenal bagi penggila lontong padang.
Obrolan santai di lontong padang langganan malam itu membawa kami bertemu di Terminal Bus Pinang Ranti, Jakarta Timur. Transportasi bus menjadi pilihan kami untuk menuju Baturetno, Wonogiri. Perjalanan ini mengingatkan saya akan nostalgia masa kecil. Kalau pulang ke tempat babeh di Watuagung, kami selalu menggunakan bus asal Wonogiri ini. Mulai dari bus Tunggal Dara, berubah nama menjadi Gajah Mungkur sampai sekarang berubah lagi menjadi Gunung Mulia Sejahtera (GMS). Perjalanan dari Jakarta menuju Terminal Baturetno lebih kurang 15 jam.
Jam 7 pagi kami sampai di Terminal Baturetno. Terminal kecil yang terletak di Kabupaten Wonogiri ini adalah terminal transit bus-bus AKAP. Satu hal yang saya ingat dari terminal ini adalah tongseng kambingnya. Saya selalu menyempatkan diri untuk makan tongseng kambing di terminal ini. Selain menuju Pacitan, trayek menuju Solo, Wonosari dan Jogja juga ada di terminal ini.
Teman kami, Sulis, ternyata sudah menunggu dari jam 6 tadi. Sulis, selain saudara Andi, dia juga supir sekaligus pemandu yang akan menemani kami selama di Pacitan. Sesampainya di Watuagung, kedatangan saya langsung disambut pelukan Bude dan Pakde. Enaknya punya keluarga disini, mau jalan-jalan ke Pacitan nggak perlu lagi mikirin penginapan. Hahaha. Perjalanan kali ini bertambah satu orang lagi, keponakan saya, Romy.
Goa Tabuhan
Perjalanan pertama kami adalah mengunjungi Goa Tabuhan dan Goa Gong. Perjalanan menuju Goa Tabuhan terbilang cukup jauh. Dari tempat menginap di daerah Watuagung, kami membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai ke Goa ini.
Goa Tabuhan terletak di Desa Wareng, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Awalnya Goa ini bernama Goa Tapan karena sering digunakan orang untuk bertapa. Tapi setelah digunakan untuk tempat berkesenian, barulah Goa ini berganti nama menjadi Tabuhan.
Dinamakan Tabuhan karena disini juga terdapat stalaktit yang dapat mengeluarkan suara dengan cara dipukul. Kami sempat ditawari sebuah pertunjukan gamelan oleh seniman setempat. Karena kami harus mengejar waktu ke Goa Gong, dengan berat hati kami menolak.
Goa Gong
Sering sekali Pacitan disebut sebagai kota 1001 goa, karena banyaknya goa yang terdapat di pegunungan karst.
Goa Gong terletak di desa Bomo, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Kota yang dijuluki sebagai ‘Kota 1001 Goa’ ini mempunyai daya tarik luar biasa. Sesuai dengan julukannya, hampir di semua tempat kita bisa menjumpai Goa, baik yang liar ataupun yang sudah dijadikan objek wisata.
Goa Gong merupakan Goa andalan di Pacitan. Stalaktit dan Stalakmit yang indah berwarna putih kecoklatan menjadikan Goa ini unik diantara beberapa Goa di Pacitan. Dinamakan Gong karena ada salah satu stalaktit yang jika dipukul akan berbunyi seperti suara Gong.
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Goa Gong. Tempatnya jauh berbeda dibandingkan dulu waktu SMP. Sekarang lebih rapih, lebih bersih dan lebih terawat.
Untuk masuk ke dalam goa yang cukup gelap ini, setiap pengunjung ditawari oleh jasa penyewaan lampu senter. Tarif sewa senter 5 ribu rupiah selama menjelajahi goa. Di dalam sendiri sudah terdapat lampu-lampu seperti lampu taman dengan suasana temaram. Lampu senter dibutuhkan untuk dapat melihat lebih detail celah-celah sempit stalaktit dan stalakmit yang tidak terjangkau oleh lampu-lampu di dalam goa.
Meniti tangga satu demi satu, kami berjalan dalam kesunyian. Yang terdengar hanyalah suara gemericik air dan tetesan air yang jatuh dari stalaktit.
Pantai Klayar
Pasir putih yang halus, keindahan panorama tebing dan batu karang, Seruling Laut dan Batu Sphinx menjadi daya tarik pantai yang terletak di sebelah barat kota Pacitan ini. Jalurnya searah dengan Goa Gong. Jadi kalau anda berkunjung ke Goa Gong, jangan lewatkan untuk mampir ke pantai ini.
Ombak yang tinggi menjadi ciri khas pantai selatan. Jangan harap anda bisa bermain dan berenang di sekitar pantai. Sepanjang pantai merupakan area berbahaya bagi pengunjung! Bahkan untuk melihat seruling laut dari balik tebing, terdapat juru kunci yang selalu mengawasi pengunjung.
Setelah puas mengelilingi tebing dan pantai, kami berpindah tempat ke atas bukit tepat di atas Seruling Laut dan Batu Sphinx. Cukup sulit untuk menemukan tempat ini, kami harus melewati pematang sawah dan perkebunan penduduk. Jalan setapaknya pun sangat kecil dan hampir tidak kelihatan karena tertutup semak-semak. Ya, inilah tempat sesungguhnya menikmati panorama pantai klayar. Duduk di atas bukit sambil menunggu matahari terbenam.
Tanpa sadar, kami pengunjung paling terakhir di pantai klayar. Andi mengingatkan kami untuk tidak terlalu malam di pantai ini. Pantai klayar sangat terkenal dengan cerita mistisnya. Rencana saya dan Adri untuk mendirikan tenda di pantai ini langsung ditolak oleh Andi.
Pantai Srau
Landscape photographer itu harus bisa bangun pagi dan mengejar sunrise itu lebih penting daripada mata ngantuk dan perut lapar. Hahaha. Berbekal roti dan susu yang kami beli tadi malam, mobil kami kebut sekencang mungking menuju Srau. Kontur jalan terbilang cukup baik. Walaupun agak sempit dan hanya bisa dilalui satu mobil, kontur jalan cukup bagus. Ketika sampai di Desa Dadapan, barulah ada penunjuk jalan menuju arah pantai. Dari sini kami harus menempuh jarak sekitar 8 kilometer lagi.
Kami tidak tahu apakah ada tiket masuk ke Srau. Ketika kami datang jam 6 pagi, hanya ada kami dan tidak ada pengunjung lain. Tujuan pertama kami adalah matahari terbit. Kami harus mendaki bukit kapur dan menyusuri jalan setapak yang berada persis di pinggiran tebing.
Pantai srau terletak di desa Candi, Kecamatan Pringkulu Kabupaten Pacitan. Hamparan pasir putih yang diapit dua karang besar serta barisan tanaman pandan menjadi ciri khas pantai ini.
Selain pemandangan pulau karang, pantai Srau juga memiliki Karang Bolong. Karang bolong merupakan salah satu spot menarik selain bukit karang. Untuk bisa melewati karang yang berlubang ini, kita harus menunggu sampai air laut benar-benar surut. Sayang, pagi itu pantai belum sepenuhnya surut, jadi kami tidak bisa mendekat ke arah Karang Bolong.
Di pinggiran pantai sedikit sekali warung yang menjajakan makanan. Kalaupun ada, cuma ada mie instan atau mie ayam. Untuk minuman hanya ada es kelapa muda. Tak kuasa menahan lapar, kami berempat memesan mie ayam dan es kelapa muda. Menurut pedagang warung, pantai Srau terbilang ‘perawan’. Sedikit sekali pengunjung yang tahu lokasi pantai ini. Berbeda dengan Klayar, Srau terletak di balik bukit kapur dan cukup sulit untuk menemukannya. Salah satu pantai tersembunyi di Pacitan.
Pantai Watu Karung
Berbeda dengan pantai Srau yang masuknya tanpa bayar sepeser pun, di pantai Watu Karung kami diminta uang masuk serelanya. Ya, serelanya. Artinya itu sama saja membuat kami bingung berapa yang harus kami keluarkan. Akhirnya saya menyarankan untuk memberikan uang 15 ribu untuk kami berempat. Uang tersebut dikelola oleh Karang Taruna setempat untuk pemeliharaan pantai dan tempat parkir.
Teriknya matahari siang tidak menyurutkan niat kami menyusuri pantai yang cantik ini. Hamparan pasir putihnya terasa sangat lembut. Garis pantainya sangat panjang dengan barisan nyiur melambai. Ombak besar terlihat memecah di pulau batu karang yang besar di tengah-tengah pantai. Gumpalan awan menghiasi birunya langit di siang itu. Ah, Watu Karung itu nirwana.
Beberapa kali kami bertemu wisatawan asing dengan papan selancarnya. Ternyata pantai Watu Karung sangat terkenal di kalangan surfer wisatawan asing. Di balik keindahan pasir putihnya, ombak Watu Karung memang luar biasa.
Dari siang hingga sore, kami habiskan bersantai di Watu Karung. Apalagi kalau bukan sunset yang kami tunggu. Lokasi untuk melihat sunset berada persis di balik bukit sebelah kanan pantai. Di sini terdapat jalan setapak yang sengaja dibuat pemilik tempat penginapan. Hampir semua tanah di sekitar Watu Karung sudah dibeli orang orang asing. Bahkan bukit-bukit di sekitar Watu Karung pun dimiliki oleh orang asing. Umumnya mereka jadikan sebagai tempat penginapan para surfer. Fix, Watu Karung adalah salah satu pantai tersembunyi di Pacitan.
Kembali ke Jakarta
Walaupun hari terakhir ini tidak ada sunrise yang harus kami kejar, tetap saja kami harus bangun pagi untuk mencegat bus Purwo Widodo jurusan Jogja dari depan rumah. Adri melanjutkan perjalanan menuju Jogja untuk pekerjaan fotografi, sedangkan saya dan Andi harus kembali ke Jakarta.
GMS Super Executive Master Combat sudah menunggu kami di terminal Baturetno. Di dalam bus Andi bertanya “Gimana bro?”. “Kita kesini lagi tahun depan”, jawab saya dengan pasti. Ada yang mau ikut?
Leave a Reply